DPR : PPDB Sistem Zonasi Bukan Sekadar Soal Pemerataan
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Reni Marlinawati mencatat sejumlah persoalan yang muncul dalam proses tahapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 di sejumlah daerah di Indonesia.
Reni Marlinawati mengatakan dari sejumlah persoalan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang muncul di lapangan persoalan zonasi sebagai salah satu mekanisme penerimaan peserta didik menjadi hal paling krusial.
“Alokasi 90% untuk zonasi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) Permendikbud No 51 Tahun 2019 telah menjadi hal krusial yang ditemukan di lapangan,” kata Reni dalam keterangan tertulis Rabu, 19 Juni 2019.
Kendati demikian, Reni tidak menampik penerapan sistem zonasi sebagai upaya untuk memetakan persoalan yang terjadi di tiap daerah dan sekolah. Hanya saja, Reni menyebutkan jika penerapan sistem zonasi semata-mata untuk kepentingan pemerataan, tentu tidak sebanding dengan imbas dari penerapan sistem ini.
“Padahal instrumen pemetaan tidak hanya sekadar melalui sistem zonasi ini. Setiap pemerintah daerah mestinya telah memiliki pemetaan dari sisi ketersediaan guru, kualitas guru, profil anak didik, termasuk bagaimana kondisi infrastrukturnya,” ujar Reni.
Menurut Wakil Ketua Umum DPP PPP ini, penerapan sistem zonasi tampak memberi pesan semangat pemerataan dan antidiskriminasi dengan menghilangkan stigma sekolah favorit dan sekolah tidak favorit.
Namun, kata Reni, yang menjadi persoalan, saat ini kualitas sekolah tidak merata. “Padahal ini perkara pemerataaan kualitas sekolah, namun cara penanganannya melalui proses rekrutmen peserta didik. Ibarat, menggaruk sesuatu yang tidak gatal. Akibatnya muncul kericuhan, antrean dan karut marut dalam PPDB ini,” sebut Reni.
Sebelumnya Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, bahwa pendekatan zonasi yang dimulai dari penerimaan siswa baru dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik. Tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi.
"Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya," kata Mendikbud.
Apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya.
Dicontohkan Mendikbud, kisah peserta didik dengan latar belakang keluarga tidak mampu terpaksa harus bersekolah di tempat yang jaraknya mencapai 15 kilometer dari rumah. Anak itu harus berangkat pukul 05.30 pagi dan baru sampai ke rumah pukul 18.30 setiap harinya.
"Kapan waktunya untuk belajar? Kapan waktunya untuk beristirahat? Belum biayanya untuk transportasi. Padahal di dekat rumahnya ada sekolah negeri, tapi karena nilainya tidak mencukupi, dia tidak bisa sekolah di sana. Ini tidak benar, tuturnya.
Masyarakat yang mampu diminta ikut berpartisipasi dengan membantu sekolah yang ada disekitarnya. Sehingga pada saatnya nanti semua sekolah kualitasnya akan menjadi baik.
Mendikbud meminta agar orang tua tidak perlu resah dan khawatir berlebihan dengan penerapan zonasi pendidikan pada PPDB. Ia mengajak para orang tua agar dapat mengubah cara pandang dan pola pikir terkait 'Sekolah favorit/unggulan'. Ia memahami masyarakat masih resisten dengan konsep ini. (asm)