DPR: Lembaga Pengadilan Jangan Takut Hadapi Mafia
Penegakan hukum berdasarkan keadilan akan menjadi slogan belaka selama mafia peradilan masih bercokol. Demikian pendapat Wakil Ketua Komisi III DPR RI Sahroni saat dihubungi Ngopibareng.id, Senin 21 Juni 2021.
"Kalau semua pihak sepakat untuk menegakkan hukum yang benar dan adil, kuncinya habisi jangan sampai kalah dengan mafia peradilan. Kalau kita sungguh-sungguh berniat ingin meneggakkan yang namanya mafia ini harus dibersihkan dari lembaga peradilan," sambung Sahroni.
Menurut politisi Nasdem mafia peradilan tersebut bisa saja dimainkan oleh jaksa, hakim, panitera hingga pengacara. Ia mengambil contoh berapa hakim, jaksa, panitera pengacara yang dijebloskan ke penjara karena menjadi mafia dengan menjualbelikan putusan pengadilan.
"Setiap rapat kerja dengan lembaga penegak hukum yang menjadi mitra kerja Komisi III DPR, selalu ditegaskan agar mafia peradilan tersebut dibersihkan supaya hukum bisa ditegakkan dengan adil, sebagai tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa dan negara," kata Sahroni.
Direktur Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (Lasina) Tohadi memandang penting pembenahan peradilan secara menyeluruh dan berkesinambungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan mafia peradilan.
Menurut Tohadi, tertangkapnya bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi tidak serta-merta menghilangkan praktik yang diduga sebagai permainan hukum. "Setelah Nurhadi tertangkap, itu 'kan faktanya banyak permohonan PK (peninjauan kembali) dikabulkan dan banyak diskon hukuman di MA," kata Tohadi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang itu mengatakan bahwa memahami mafia peradilan tidak hanya dari sisi peradilan, hakim, panitera, dan juru sita, tetapi juga terkait dengan pengacara serta jaksa untuk kasus pidana.
"Katakan lembaga peradilan misal bersih. Akan tetapi, kalau advokat atau jaksa terlibat penyuapan atau korupsi, akan berpengaruh pada lembaga peradilan, demikian pula sebaliknya. Jadi, pembenahan harus menyeluruh dan berkesinambungan," kata Tohadi
Selain itu, penggunaan layanan e-court harus maksimal sehingga meminimalkan interaksi fisik antara advokat, jaksa, hakim, panitera, dan juru sita. "Dengan penggunaan layanan e-court, peluang transaksi perkara lebih minimal," kata Tohadi.
Terkait dengan publikasi putusan, menurut dia, harus cepat dan mudah diakses publik. Pengadilan di bawah MA harus segera meniru model publikasi putusan di MK. Dengan demikian, kata Tohadi, masyarakat bisa membaca dan menelaah putusan mulai tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), dan MA. Misalnya, diketemukan putusan ganjil, bisa segera diketahui publik.
"Memang publik tidak boleh memengaruhi hakim dalam mengadili perkara. Akan tetapi, setidaknya publik bisa melihat rekam jejak para hakim yang mengadili. Apakah putusan ganjil, misalnya, juga dipengaruhi oleh perilaku hakim yang diduga korup," kata Tohadi.
Menurut Tohadi, yang tidak kalah penting adalah membuka ruang eksaminasi putusan. "Putusan hakim selalu dianggap benar, asas hukumnya demikian. Akan tetapi, publik bisa mempersembahkan secara akademik dengan para ahli hukum melalui uji publik atau eksaminasi tersebut," kata Tohadi.
Sementara pengamat hukum yang juga mantan hakim Asep Wawan Iriawan melihat mafia peradilan itu hidupnya di mana-mana. Ada di kejaksaan, Kejaksaan Agung, PN hingga Mahkamah Agung.
Meskipun belum maksimal dan masih perlu didorong, Kang Asep mengapresiasi upaya membersihan lembaga hukum dari mafia.
"Diadilinya bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk mem bersihkan mafia peradilan, tapi faktanya keputusan pengadilan masih bisa diatur di luar sidang. Meskipun tidak semua tapi saya duga ada. Ini menjadi tantangan bagi Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan," terangnya.