DPD Golkar Jatim Usulkan Presiden Soeharto Jadi Pahlawan, Ini Respons Para Akademisi
Sosok Presiden RI ke-2 Jenderal Besar (Purnawirawan) H.M Soeharto secara resmi telah diusulkan oleh DPD Partai Golkar Jawa Timur menjadi Pahlawan Nasional. Usulan tersebut disampaikan bertepatan dengan perayaan HUT ke-60 Partai Golkar pada tahun 2024 ini.
Menanggapi hal tersebut, Sejarawan Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya Moordiati mengatakan, usulan tersebut sah secara politis karena partai berlambang pohon beringin itu ingin memberikan legitimasi terhadap kontribusi Soeharto dalam membesarkan partai.
"Pak Harto adalah salah satu tokoh pertama yang membawa Golkar menjadi besar. Jika usulan ini muncul dari Partai Golkar, tentu tidak ada masalah,” ucapnya, Jumat 1 November 2024.
Selain itu, Moordiati menjelaskan, perlu ada aspek-aspek lain yang dipertimbangkan aspek lain dalam pengusulan tersebut. Meskipun Soeharto berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada beras dan dikenal dengan berbagai pembangunan fisik, ada sisi lain yang perlu diperhitungkan.
“Dalam pandangan akademisi, ada berbagai nilai yang perlu diperhatikan sebelum menetapkan beliau sebagai Pahlawan Nasional. Selain jasa, kita perlu melihat konteks yang lebih luas tentang kontribusi dan dampak kepemimpinannya,” tuturnya.
Moordiati juga menerangkan, meskipun banyak masyarakat dan pengikutnya yang merindukan kepemimpinan pada era Presiden Soeharto, tapi terdapat kekhawatiran akan relevansi simbol-simbol budaya yang direpresentasikan oleh mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) periode 1961-1965 itu.
“Bagi sebagian orang, Pak Harto memang merepresentasikan simbol ke-Jawa-an yang kental. Dia berhasil menampilkan budaya Jawa dalam lingkup nasional, yang bisa jadi dianggap sebagai jawasentris. Namun, ini menjadi pertimbangan apakah kehadiran simbol budaya itu bisa diterima secara luas dalam kerangka Pahlawan Nasional,” tegasnya.
Sebagai tambahan, Moordiati menilai bahwa kontribusi Presiden Soeharto bisa lebih kontekstual jika dinilai dalam lingkup “pahlawan pembangunan,” bukan sebagai “bapak bangsa" atau founding father.
“Contoh nyata pada zamannya beliau berkuasa selama 32 tahun itu tidak ada satupun anaknya yang diusulkan masuk di jalur birokrat. Artinya Pak Harto itu tidak pernah melanggar aturan demokratis. Hal itu yang kemudian menorehkan sejarah buat orang-orang pengikutnya,” katanya.
Ia menyatakan, perlu dilihat kembali apa yang menjadi warisan pembangunan dari Komandan Panglima Pembebasan Irian Barat tersebut saat ini dan apakah masih relevan dengan pembangunan pada zaman sekarang.
Bahwa, lanjutnya, usulan tersebut tentunya akan menjadi bahan diskusi yang panjang di kalangan masyarakat, akademisi, dan politisi, terutama mengingat perjalanan sejarah dan kontribusi Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia.
“Semua ini adalah pertimbangan penting yang harus diperhatikan dalam mengusulkan beliau sebagai Pahlawan Nasional,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Katolik Wijaya Kusuma Surabaya Alim Basa Tualeka mengatakan, pengusulan nama Presiden Soeharto oleh Golkar tersebut adalah sebagai sebuah ungkapan terima kasih dari Partai Golkar atas kiprah Soeharto yang membesarkan Golkar.
Alim menilai, kiprah Soeharto yang dianggap selalu memegang teguh administrasi negara menjadi salah satu jalan bagi Soeharto untuk bisa diusulkan menjadi pahlawan, selain sebagai bapak pembangunan.
“Dalam kacamata saya pengusulan nama Soeharto ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan Pak Soeharto yang selalu melangkah mengutamakan kebijakan negara,” pungkasnya.