Dosen UB Buat Aplikasi untuk Bantu Tuna Netra
Dosen Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) Universitas Brawijaya (UB) Malang membuat aplikasi mobile pendeteksi rintangan bagi penyandang tuna netra sehingga mereka tidak lagi memerlukan bantuan tongkat untuk berjalan.
Pembuat aplikasi tersebut ialah Fitri Utaminingrum yang juga merupakan dosen Filkom UB. Secara umum aplikasi tersebut memanfaatkan kamera handphone untuk mendeteksi rintangan bagi penyandang tuna netra saat berjalan.
“Cara kerjanya adalah dengan meletakkan HP pada bagian dada di ketinggian sekitar 120 centimeter, dengan kemiringan kamera 50 sampai 65 derajat,” ungkapnya.
Fitri melanjutkan ketika aplikasi dijalankan maka kamera akan menangkap gambar yang ada didepannya, kemudian diproses melalui pencitraan gambar untuk dideteksi apakah gambar tersebut sebagai halangan atau tidak.
“Nantinya aplikasi akan menyampaikan informasi berupa peringatan kepada pengguna jika terdapat halangan di depannya. Dengan demikian pengguna harus mengubah arah untuk mengindari halangan tersebut,” tuturnya.
Menurut keterangan Fitri aplikasi tersebut bertujuan untuk membantu penyandang tuna netra mampu berjalan secara mandiri tanpa menggunakan tongkat atau the white cane.
Selain itu penggunaan tongkat dalam membantu penyandang tuna netra dianggap tidak praktis karena bahan yang keras dan tidak mudah dilipat. Serta kemampuan deteksi terbatas hanya 1 sampai 2 langkah kaki saja.
Ke depannya apikasi ini akan terus dikembangkan tidak hanya memberikan peringatan kepada pengguna jika terdapat halangan saja.
“Akan tetapi nantinya dapat memandu pengguna ke tempat tujuan dengan tetap memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh perangkat mobile seperti GPS,” kata Fitri.
Aplikasi tersebut dirancang oleh Fitri karena kegelisahannya karena melihat penyandang tuna netra terus meningkat tiap tahunnya.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) menyebutkan sebesar 81% orang yang berumur diatas 50 tahun mengalami masalah pengelihatan dan ada 253 juta orang diseluruh dunia mengalami kebutaan.
Menurut data WHO diperkirakan jumlah tersebut akan meningkat hingga tahun 2050. Maka dari itu menurut Fitri hal tersebut sudah seharusnya menjadi tanggung jawab seorang peneliti.
“Sudah menjadi kewajiban peneliti atau akademisi untuk membantu meringankan masalah mereka. Salah satunya adalah melalui aplikasi tersebut yang harapannya agar mereka bisa melakukan aktivitas secara mandiri,” tutup Fitri.