Dosen ITS, Manfaatkan Ragi Jadi Bahan Produksi Biodiesel
Turunnya persediaan bahan bakar fosil dan harganya yang cenderung tidak stabil, merupakan akibat dari krisis bahan bakar yang melanda dunia. Selain itu, permasalahan pemanasan global juga timbul akibat penggunaan bahan bakar fosil yang mengandung persentase karbon yang tinggi.
Menilik hal itu, dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Siti Zullaikah, memanfaatkan ragi L. starkeyi sebagai jalan keluar dari permasalahan energi lewat biodiesel yang ramah lingkungan.
Menurutnya, ada banyak energi alternatif yang kemudian ditawarkan guna menghadapi situasi tersebut. Tenaga matahari, angin, air, reaksi kimia, dan lainnya tentu memiliki kelebihan masing-masing. Namun, tidak banyak energi alternatif yang mudah penerapannya pada alat transportasi.
"Salah satu energi alternatif yang sudah diproduksi secara komersial serta pemanfaatannya tidak perlu modifikasi mesin kendaraan adalah biodiesel," ungkap perempuan yang akrab disapa Zulle ini.
Ia juga menambahkan, setidaknya ada dua sumber yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan biodiesel, yakni bahan baku yang dapat dikonsumsi (edible) dan bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi (inedible). Kebanyakan industri sebenarnya telah memproduksi biodiesel dari bahan baku yang dapat dikonsumsi.
"Seperti pemerintah Indonesia yang memproduksi biodiesel dari minyak kelapa sawit, namun biaya produksi yang dapat mencapai 70 persen dari total biaya produksi menjadi masalah utama komersialisasi biodiesel tersebut," jelasnya.
Maka, pemanfaatan bahan baku nonkonsumsi merupakan pilihan utama dalam produksi biodiesel. Pilihan jatuh pada microbial oil (minyak yang dihasilkan oleh mikroba) yang dihasilkan ragi jenis oleaginous, secara spesifik menggunakan L.starkeyi sebagai objek penelitiannya sejak 2004.
L.starkeyi mempunyai kandungan minyak yang tinggi hingga 60 persen. Ia juga memiliki komposisi asam lemak yang sesuai untuk bahan baku biodiesel. Selain itu, mikroba tersebut mempunyai siklus produksi yang pendek dan tidak bergantung pada musim dan cuaca, serta mudah untuk dikembangbiakkan.
"Minyak yang dihasilkan pun lebih mudah diekstraksi dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan alga," ucap Zulle.
Dengan adanya penemuan itu, Zulle berharap, Indonesia dapat memiliki sistem produksi biomassa dan produk berbasis bio yang terintegrasi menggunakan konsep biorefinery. Yakni proses eksplorasi biomassa menjadi berbagai produk yang dapat dipasarkan, seperti energi. (amm)