Dorong Wujudkan Demokrasi Inklusif, Indonesia Gelar ke-12 BDF
Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, mengatakan, demokrasi bukan hanya sekedar penyelenggaraan Pemilu, tetapi juga proses keberlanjutannya yang dituntut mampu untuk melindungi kepentingan umum dan bermanfaat bagi semua.
Dalam demokrasi, dibutuhkan berbagai dialog untuk menghasilkan suatu cara pandang yang komprehensif mengenai pemaknaan demokrasi inklusif.
“Hal ini sejalan dengan prinsip dasar demokrasi sendiri, yang menekankan pentingnya partisipasi seluruh elemen masyarakat, dalam ruang gerak yang kondusif serta konstruktif," kata Meutya
Hafid.
Ia mengungkapkan hal itu, dalam pidato penutup perhelatan Bali Democracy Forum (BDF) ke-12, pada tanggal 6 Desember 2019.
Indonesia kembali selenggarakan pertemuan BDF untuk kedua belas kalinya, pada tanggal 5-6 Desember 2019, di Nusa Dua, Bali. Pertemuan yang diinisiasi sejak tahun 2008 tersebut merupakan salah satu upaya Indonesia dalam mendukung pemajuan agenda demokrasi di kawasan, sekaligus sebagai forum tukar pandang antar negara dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi.
Mengambil tema “Democracy and Inclusivity", BDF kali ini berhasil libatkan partisipasi sejumlah kalangan masyarakat, yang berasal dari perwakilan pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat sipil, termasuk di antaranya kalangan ahli, awak media, generasi muda, dan para pelaku usaha. Jumlah peserta tahun ini tercatat lebih banyak ketimbang tahun sebelumnya.
Pelaksanaan BDF ke-12 diawali dengan sesi Ministerial Panel bertajuk “Women Leadership, Inclusion and State of Democracy" yang membahas mengenai pentingnya peran kepemimpinan perempuan dalam mewujudkan iklim demokrasi yang lebih inklusif.
Turut menjadi panelis dalam sesi ini adalah Menteri Luar Negeri RI - Retno Marsudi, yang menggarisbawahi kontribusi positif perempuan bagi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, serta kapabilitas perempuan dalam menjaga keamanan dan perdamaian.
“Demokrasi yang sebenarnya tidak hanya memberikan kesempatan bagi perempuan untuk memilih, tetapi juga hak untuk dipilih," tutur Menlu Retno dalam sesi pleno dimaksud.
Selanjutnya para peserta BDF juga telah dibagi ke dalam empat kelompok dialog (Breakout Session) untuk mendiskusikan beragam tema spesifik terkait demokrasi inklusif.
Tidak hanya terbatas pada perspektif pemerintah saja, BDF ke-12 juga telah menggali penerjemahan demokrasi menurut generasi muda, dan juga penerapan prinsip demokrasi dalam konteks ekonomi inklusif.
Masing-masing perbedaan tersebut kemudian direfleksikan melalui satu sesi Cross Panel, untuk menghasilkan suatu cara pandang yang komprehensif mengenai pemaknaan demokrasi inklusif.
Diikutsertakannya berbagai latar belakang masyarakat dalam forum ini diharapkan dapat menjadi sarana pembelajaran bagi seluruh pihak, untuk menemukan solusi strategis di masa depan, dalam mengatasi tantangan terwujudnya demokrasi inklusif.
Sebanyak 665 peserta dari 87 negara dan perwakilan 7 organisasi internasional BDF ke-12 telah menghasilkan beberapa key elements sebagai outcome pertemuan.
Elemen kunci tersebut menyoroti pentingnya partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam demokrasi - khususnya kelompok swasta, pemuda dan perempuan. Dalam hal ini, sektor swasta memegang peranan penting sebagai mitra pemerintah, perempuan berperan sebagai natural consensus builder dalam masyarakat, dan generasi muda mengemban harapan sebagai masa depan bangsa. Kolaborasi dan sinergi ketiganya dipercaya dapat memperkuat sistem demokrasi suatu negara dan memberi manfaat yang lebih besar bagi semua orang.
Advertisement