Donat Di Kepala Sasti Gotama
Oleh Wina Bojonegoro
Di tangan Sasti Gotama, hal-hal sederhana menjadi begitu dalam. Dia kaya metafora dan pandai menelurkan filsafat kecil-kecilan yang diselipkan di banyak paragrap. Cerpen "Tak Ada Donat Kentang Di Bulan" contohnya.
Ada banyak frasa menarik dan renungan serupa filsafat yang mengajak pembaca untuk duduk diam sejenak dan merenungi kata-kata. Misalnya:
- Tubuh beraroma sitrun (untuk mengatakan aroma kecut atau asam)
- Bercak kupu-kupu kemerahan (bercak kupu-kupu? Oh ya ya ... ini tak terbayangkan oleh saya sebelumnya)
- Semua keinginannya menyublim menjadi atom-atom di udara ketika Sal membuatnya terbang ke dekat lubang hitam. (Ini wow banget, untuk mengatakan birahi yang membawa petaka digambarkannya sebagai alam semesta yang demikian jauh dan mungkin memikirnya saja pembaca tidak pernah.)
- Sebuah morula tumbuh di rahim Nin (saya langsung buka Google, apa itu "morula"? Haha ... luar biasa cerdas penulis ini!)
- Kepalanya mendadak menjadi cuaca: kadang-kadang panas, terkadang hujan, sering kali halilintar. (Diam-diam saya cemburu pada Sasti. Dia memilih perumpamaan yang sungguh elok dan tepat sasaran, sesuatu yang wajib dipelajari dan dicari, di saat sebagai penulis tugasnya adalah menemukan kesegaran-kesegaran dalam penulisan)
- Ia diselimuti serbuk-serbuk antariksa yang terlihat seperti kabut pekat. (Apa itu serbuk-serbuk antariksa? Pasti meteor. Dari jauh memang hanya serupa kabut, tapi coba didekati, sesungguhnya ia adalah partikel-partikel besar yang menghantam planet lalu bedebum dan hancur).
Secara menyeluruh, pilihan diksi dan frasa dalam cerpen ini menyuguhkan suatu kebaruan yang membuat kita tersedak: oh iya ternyata ada ya perumpamaan serupa itu, oh ternyata bisa ya, oh ternyata menjadi penulis itu harus membaca apa saja, bahkan buku biologi zaman SMP atau buku fisika zaman SD.
Kalau seorang dokter menulis dan yang ditulisnya soal medis, okelah dunianya memang itu. Namun, bagaimana seorang penulis membuat analisa-analisa di luar dirinya dan menjadikannya sebuah pilihan teknik bercerita, itu adalah sebuah tantangan. Jadi donat di kepala Sasti bisa jadi adalah dunia lain yang sedang dia coba jajagi dan nikmati sebagai wilayah main-main.
Sebuah kajian psikologi yang layak kita tekuni dari cerita ini adalah soal baby blues. Penulis tak harus mengucapkan kata baby blues untuk mengatakan bahwa Rin menderita itu. Namun, penggambaran ia membekap bayinya saat tak bisa diam dan suara-suara penyiar di kepalanya itu adalah hal-hal yang sering dialami oleh perempuan yang mengidap penyakit mental serupa. Pilihan Sasti Gotama untuk memilih ranah psikologi sebagai media eksplorasi cerita—sebagaimana kita temui pada beberapa cerita lainnya—adalah sebuah konsistensi yang layak diacungi jempol.
Kesimpulan dari cerita ini menurut saya adalah:
1. Jangan mendekati api jika tak ingin terbakar
2. Setialah pada tujuan hidup, sebab sekali salah melangkah, dunia akan menelanmu
3. Jangan terkecoh pada simbol, bisa jadi hal serupa bukan seperti yang kau sangka.
(*)
Wina Bojonegoro
Pemimpin pada Padmedia Publisher
Advertisement