Donald Trump Menang Pilpres, Dosen HI UNAIR Paparkan Dampaknya Bagi Politik Luar Negeri AS
Amerika Serikat telah melangsungkan pemilihan umum presiden, Selasa 5 November 2024 lalu. Mantan Presiden AS ke-45, Donald Trump berhasil memenangi pertarungan tersebut melawan seterunya yang juga adalah Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris dari Partai Demokrat.
Terpilihnya Trump dari Partai Republik tentunya membawa dinamika bagi politik dalam dan luar negeri Amerika pada empat tahun mendatang. Sebagai sosok yang akan berkuasa di Negeri Paman Sam, tentunya kebijakan luar negeri Trump tidak hanya berdampak pada rivalnya di dalam negeri saja, tetapi juga sekutu-sekutu Amerika di percaturan politik internasional.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional UNAIR, Agastya Wardhana menyebut, hasil pemilu presiden silam akan memiliki perubahan yang cukup besar bagi kebijakan luar negeri yang akan ditempuh Amerika Serikat ke depannya.
“Berbeda dengan Biden, Amerika Serikat ke depan tampaknya lebih fokus ke urusan domestik. Mereka akan menjadi lebih transaksional dan tidak lagi memandang kerja sama internasional sebagai hal yang penting kalau tidak menguntungkan mereka,” ungkapnya.
Menurut Agas, Trump akan mengambil kebijakan luar negeri yang jauh berbeda dengan Biden. Amerika Serikat menurutnya akan tampil lebih mandiri dengan berfokus pada kepentingan dalam negeri.
“Berbeda dengan Biden yang menganut kebijakan luar negeri tradisional Amerika yang mengedepankan aliansi, bekerja sama untuk mencapai kepentingan nasional, dan cenderung condong dengan aliansinya. Sementara Trump, ia memandang Amerika lebih baik sendirian selagi bisa mencapai kepentingan nasionalnya,” jelasnya.
Agas berpandangan, Trump akan melanjutkan kebijakan yang telah ia buat pada periode pertama dirinya menjabat. Seperti menggunakan narasi anti imigran dan melanjutkan perang dagang terhadap Cina.
“Ke depan jelas Amerika Serikat akan meninggalkan Eropa. Ini sama seperti yang terjadi pada periode pertama Trump menjabat pada tahun 2016-2020. Terlebih Trump pernah menyatakan bahwa Perang Ukraina merupakan masalah Eropa, bukan masalah Amerika. Satu hal yang perlu diamati adalah bagaimana negara-negara Eropa merespons kemenangan Trump,” paparnya.
Berbeda dengan Eropa, Amerika Serikat justru akan menjadikan Cina sebagai fokus utamanya. Misalnya, dengan meningkatkan tarif impor terhadap barang-barang Cina untuk meningkatkan daya saing produk domestik.
Namun, Agas mengingatkan, kecil kemungkinan Trump bisa memutus total ketergantungan Amerika Serikat terhadap Cina sebab ekonomi kedua negara itu sudah sangat terhubung.
Agas juga menyatakan, efek dari kemenangan Trump dalam Pilpres Amerika Serikat tidak akan berdampak banyak bagi Indonesia. Tidak seperti negara-negara di kawasan Eropa, Cina, maupun sekutu-sekutu Amerika lainnya.
“Bagi Indonesia, pergantian presiden AS bisa memberikan peluang. Pada periode Trump sebelumnya, AS itu sangat transaksional. Ini tidak akan jauh berbeda pada periode keduanya Trump. Selagi AS maupun mitranya sama-sama untung ya mereka bisa kerja sama. Beda dengan Biden yang mengedepankan value (demokrasi) sebagai syarat kerja sama, it doesn’t matter buat Trump," tegasnya.
Untuk mencapai peluang itu, Agas menyarankan pemerintah Indonesia agar menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih asertif. Menurutnya, Indonesia memiliki peluang lebih banyak untuk bekerja sama dengan Amerika karena keduanya memiliki presiden yang berprinsip transaksional.
“Kalau di periode pertama Trump kemarin kan Indonesia dipimpin Jokowi yang tidak tertarik dengan isu luar negeri. Jokowi cenderung pasif dan lebih menyerahkan isu luar negeri ke Kemenlu. Kalau Prabowo saya lihat dia lebih aktif di isu-isu luar negeri. Saya kira ada kecocokan antara Trump dan Prabowo yang sama-sama pragmatis dan transaksional,” pungkasnya.