Dolly Mati, Masih ada Bu Mamik-Bu Mamik Lain
Sekitar dua minggu lalu, Polrestabes Surabaya menggrebek panti pijat Bu Mamik. Panti pijat ini berada di sekitar Bratang.
Panti pijat ini cukup "legendaris" karena juga menyediakan layanan plus-plus. Dibilang legendaris karena panti ternyata sudah berdiri sekitar 20 tahun lalu dengan manajemen yang berganti-ganti.
Penggrebekan ini sebenarnya jadi menyadarkan kita jika sarana prostitusi di Surabaya sebenarnya tak mati sepenuhnya meski Dolly sudah almarhum.
***
Deretan puluhan rumah di Jalan Kupang Gunung Timur I itu, tampak sepi. Tak ada aktivitas yang berarti. Beberapa di antaranya bahkan sudah kosong tak berpenghuni. Padahal, di gang yang dulu dikenal sebagai Gang Dolly dulunya ramai.
Siang malam banyak orang berkumpul, mulai dari para pedagang asongan, pria hidung belang, para makelar yang menawarkan pekerja seks dan tentu saja para pekerja seksnya sendiri. Namun kini, semuanya sudah tidak tampak lagi. Selain warga, sore itu, hanya ada satu pria setengah baya yang menawarkan pekerja seks. "Mas cari cewek cewek?" tanya pria tersebut.
Sejak Rabu malam 18 Juni 2014 lalu lokalisasi Dolly yang konon terbesar di Asia Tenggara ini memang secara resmi telah ditutup oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Orang mengenalnya Gang Dolly sejatinya adalah sebuah gang di Jalan Kupang Gunung Timur I. Saat masih aktif, gang ini berjajar puluhan rumah bordil.
Tapi jangan salah, selain gang Dolly ada juga gang-gang sempit sekitar Dolly juga digunakan sebagai lokalisasi. Gang ini bernama Gang Jarak. Beda antara Gang Dolly dengan Jarak adalah soal tarif dan usia pekerja seks. Tarif pekerja seks di Gang Jarak lebih murah dibanding Gang Dolly karena pekerja seks di Jarak lebih berumur dibanding Dolly, meski tak semua.
Makanya tak heran jika Dolly diklaim sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, selain karena luasan wilayah yang digunakan sebagai lokalisas juga karena jumlah pekerja seks yang terlibat di dalamnya. Saat ditutup total ada 1.499 WPS dan 311 mucikari.
Jelang penutupan, pekerja seks menerima uang Rp. 5.050.000 dan mucikari menerima Rp. 5.000.000 dari Kementerian Sosial. Mereka kemudian dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing.
Namun meski Gang Dolly sudah sepi dari aktivitas prostitusi, jejak-jejak sebagai daerah bekas lokalisasi sampai sekarang masih ada. Buktinya, meski sudah tak sebanyak dulu, namun masih ada beberapa makelar yang tetap beroperasi menawarkan pekerja seks kepada para pria hidung belang yang lewat.
Para makelar ini mudah mengenali mangsanya. Jika ada pria yang sedang memperlambat jalannya di gang ini dan matanya toleh kanan kiri, maka kemungkinan pria ini sedang mencari pekerja seks.
Beberapa alumni gang Dolly memang tidak sepenuhnya meninggalkan lokalisasi. Mereka memilih untuk kos di rumah-rumah warga sekitar Gang Dolly. Mereka juga tetap berhubungan dengan para makelar untuk mencarikan tamu. Sedangkan untuk urusan eksekusi, tentunya tidak di sini, tapi di hotel.
Camat Sawahan M. Yunus tak menampik masih ada praktik prostitusi terselubung di bekas lokalisasi ini. “Praktik terselubung semacam ini sama dengan prostitusi melalui media sosial. Susah untuk dihapuskan,” kata dia.
Selain mencari mangsa di bekas lokalisasi, praktik terselubung prostitusi ini juga malah menyebar ke tempat hiburan di Surabaya. Misalnya saja di panti pijat, warung remang-remang, rumah karaoke dan café.
“Mereka sekarang malah beroperasi secara independen di tempat-tempat tersebut,” kata Yorris Latto aktivis Yayasan Embun Surabaya yang aktif melakukan penjangkauan terhadap para pekerja seks di Surabaya.
Kata Yorris, meski sebagian dari mereka tak pernah mengakui sebagai alumni Dolly, namun dia meyakini jika mereka-mereka adalah alumni dari Dolly. Mereka beroperasi kembali secara independen di tempat-tempat hiburan dan panti pijat.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Witanto dari Yayasan Orbit sebuah lembaga nirlaba yang juga melakukan pemantauan penyebaran HIV/AIDS kepada para pekerja seks. Kata dia, di beberapa titik di Surabaya masih ada pekerja seks buka yang praktik secara terang-terangan. Namun ada pula beroperasi tertutup.
Mereka menyebutnya sebagai pekerja seks tak langsung (Wanita Pekerja Seks Tak Langsung/WPSTL). Pekerja seks tak langsung ini bisa dari beragam pekerjaan misalnya pemandu lagu, pekerja toko atau bahkan ibu rumah tangga.
Mereka beroperasi secara tertutup biasanya misalnya melalui kenalan atau germo atau menawarkan di media sosial. Banyak di antara mereka hanya bekerja sebagai sampingan, untuk tambahan penghasilan.
Namun, meski hanya sebagai sampingan, namun resiko penularan penyakit tetap sama dibanding pekerja seks langsung. Berdasarkan data penjangkauan Yayasan Orbit tahun 2015 lalu, jumlah pekerja seks langsung masih ada sekitar 254 orang yang tersebar di 63 hot spot.
Sedangkan untuk pekerja seks tak langsung, jumlahnya ada ribuan atau sekitar 1634 orang yang tersebar berbagai tempat.
Pengalaman Yayasan Orbit, tak mudah untuk menjangkau para pekerja seks tak langsung ini. Pasalnya mereka biasanya menolak dianggap sebagai pekerja seks. Dibutuhkan beberapa kali pertemuan untuk mempersuasi para WPSTL itu agar mau dilakukan tes HIV/AIDS.
“Mereka biasanya resisten, karena menganggap dirinya bukan pekerja seks,” kata Witanto.
Selain dari pekerja seks sendiri, petugas juga harus menghadapi kendala dari para pengelola tempat hiburan. Pengelola tempat hiburan biasanya juga menolak, tempatnya dilakukan tes, karena menganggap tempat yang dikelolanya bukan tempat esek-esek.
“Jalan terakhir, kalau mereka tak mau. Biasanya kita menggandeng Dinas Kesehatan dan Dinas Pariwisata. Kalau sudah begitu, mereka biasanya mau karena takut tempatnya ditutup,” ujar Witanto. (amr)
Advertisement