Dolar Begini Rupa, Lalu Bisnis Opak Gambir Akan Jadi Apa?
Nyatanya dolar membubung ke langit. Ini membuat gelisah para pebisnis kelas bawah. Mau tak mau. Juga, suka tidak suka. Biasanya bisnis kelas bawah yang kerap disapa UMKM ini hanya sibuk mikir modal diputar dari mana, dan seperti apa memutarnya. Tapi kini jadi ikutan sibuk mikirkan uang dolar.
______________
Betapa tidak, bisnis makanan cemilan opak gambir itu sangat bergantung dengan tepung. Lalu gula. Faktor tepung menjadi penentu apakah cemilan ini akan banter di pasaran atau tidak. Padahal kualitas tepung naik turun harganya berpatok pada harga dolar. Begitu juga gula, kalau variabel lain naik gula paling duluan ikut mengejar harga.
Dian Kartikawati, produksen opak gambir di sentra opak gambir Kota Blitar ketir-ketir juga melihat fenomena ini. Bayangan produksi yang akan ikut seret bolik-balik melintas di benaknya. Kata dia, wis rapopo, wis embuh, yang penting tetap berkarya dan ubet supaya bisnis cemilan ini tetap bisa lancar berjalan.
Prinsip Dian Kartikawati maju terus pantang mundur layak dicontoh oleh para pebisnis serupa yang mungkin akan berurusan dengan dolar. “Semoga pasar akan tetap berjalan baik, tidak serta-merta ambruk seperti kena gempa,” doanya.
Rintisan 3 Tahun
Dian berkisah: dia mengawali usaha menjadi produsen opak gambir mulai dari nol. Hanya dalam tempo tiga tahun merintis, opak gambir rasa-rasa inovasinya sudah diterima pasar. Pesanan demi pesanan datang, termasuk yang ritel.
Kawasan Jalan Kemuning, Plosokerep, Kota Blitar sudah cukup lama dikenal menjadi sentra makanan tradisional opak gambir. Satu jenis panganan beraroma wangi, renyah menyerupai kerupuk, manis di lidah, yang dominan terbuat dari tepung ketan dan santan kelapa. Meski sudah lama menjadi sentra, belum banyak inovasi yang dilakukan untuk membuat opak gambir makin jadi pilihan untuk buah tangan dan cemilan yang bisa dibanggakan.
Selama ini, opak gambir yang diproduksi di sentra opak gambir Plosokerep hanya ada dua macam. Masing-masing berasa jahe dan wijen. Sebagai gambaran, di sentra opak gambir Kota Blitar sedikitnya terdapat lebih dari 20 orang perajin opak gambir.
Opak gambir identik dengan bentuk conthong. Biasanya berconthong besar. Conthong adalah bentuk menyerupai kerucut. Bawah lancip sementara bagian atas melingkar. Kalau dilihat dalam jarak, maka akan menyerupai segitiga terbalik. Conthong menjadi bentuk yang paling umum ketika memroduksi opak gambir.
Dian Kartikawati melihat fenomena ini masih bisa dikembangkan untuk maraih pasar yang lebih luas. Apalagi, secara market, Dian mengetahui kalau opak gambir di sentra selalu tak mampu melayani pesanan. Maka mulailah ia memroduksi opak gambir dengan resep berbeda. Ia meninggalkan ciri khas rasa jahe dan wijen, meski dalam produksi rasa jahe dan wijen tetap dibuat sebagai penyeimbang market.
Di awal kemunculannya, di tahun 2011 akhir, dengan membawa bendera Opak Gambir Wijaya Kusuma, Dian memperkenalkan opak gambir rasa-rasa. Tujuh rasa sekaligus. Jika wijen dan jahe diikutkan dalam jumlah rasa, maka ada sembilan rasa yang diproduksi. Masing-masing rasa nangka, durian, jambu, coklat, pandan, ubi ungu dan ubi madu, wijen dan jahe. Rasa dibuat dari buah asli dan ubi yang asli.
Selain berinovasi dengan rasa-rasa, Dian mencoba konsisten dengan packaging yang cantik dan menarik. Tidak lagi menggunakan stiker yang gampang mengelupas, tapi sudah menyablon atau printing digital langsung di tubuh kemasan. Bentuk opak gambirnya pun juga dibuat lebih sedap dipandang dengan bentuk conthong kecil. Kesannya lebih handy dengan kemasan cantik serta sangat cocok untuk buah tangan.
Seperti sudah dalam prediksi, opak gambir rasa-rasa itu pun dengan cepat menggelinding dipasaran. Harga memang menjadi lebih mahal, namun sering dengan kualitas harga menjadi tidak begitu penting untuk dipermasalahkan. Di awal produksi Dian hanya dengan omset 5 kg per hari. Itu pun dicetak sendiri.
Dua bulan kemudian ia sudah mampu merekrut 1 karyawan. Berikutnya 3 karyawan, dan selanjutnya memiliki 8 karyawan. Menurut Dian, sebenarnya ingin menambah terus jumlah karyawan, namun faktanya ia kesulitan merekrut orang. Sebab, orang di sekitar sentra malah lebih suka bekerja di pabrik-pabrik rokok.
Omset Opak Gambir Wijaya saat ini mencapai 50 kg per hari dalam bentuk siap saji. Harga per kilogram di patok 44 ribu rupiah. Sementara harga dipasaran mencapai 50 ribu rupiah. Penghasilan kotor rata-rata per hari tak kurang mencapai 20 juta rupiah. Jika hari raya tiba, omset meningkat pesat menjadi dua kali lipat lebih.
“Dengan omset seperti ini kita sudah tak mampu berjualan di toko sendiri. Semua barang sudah ada di tangan pemesan. Pemesan adalah mitra kita yang menjadi unjung tombak pemasaran. Untuk Hari Raya Idul Fitri 2014 ada yang harus menyelesaikan 3000 packaging pesanan khusus. Kita sudah kewalahan hanya dengan 8 karyawan,” kata Dian yang juga Ketua Paguyuban Cahaya Bulan yang menaungi kelompok perajin opak gambir di sentra opak gambir Plosokerep.
Kesulitan mencari tenaga kerja plus omset yang terus meningkat membuat Dian kembali mencoba berinovasi. Tahapannya masih 60 persen. Yaitu, bekerja sama dengan beberapa alumni dari ITS untuk membuat mesin semiotomatis pemanggang opak gambir. Jika sudah sempurna maka pekerja hanya perlu menggulung opak gambir sesuai bentuk. Selama ini semua proses pembuatan opak gambir masih dilakukan secara manual. Jadi pekerja masih berdekatan dengan pemanggang opak gambir yang panas.
Perbandingannya jika menggunakan mesin itu panas akan lebih merata. Opak gambir gosong lebih bisa dihindari. Pekerja tidak bersentuhan dengan pemanas dan api di tungku. Sementara hasilnya bisa maksimal. Jika manual, seorang pekerja mampu menghasilkan 7,5 kg dengan waktu bekerja mulai pukul 7 pagi hingga pukul 16.00. Sementara jika semiotomatis seorang pekerja bisa mampu menghasilkan 5 kg dalam waktu 1 jam. idi
Advertisement