Doktor Nur, Cahaya Mobil Listrik Indonesia
PEMECAH telur kendaraan listrik nasional adalah Surabaya. ITS. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Memang Mario Rivaldo dari Bandung sudah membuatnya lima tahun lalu. Sudah pula diuji coba di mana-mana. Tapi belum pernah masuk pasar komersial. Tepatnya belum dapat ijin.
Memang pula sudah banyak sepeda motor listrik di pasar tapi belum bisa disebut kendaraan nasional. ITS lah yang secara nyata menandatangani kontrak komersial produksi kendaraan listrik. Antara ITS dan PT Garasindo. Perusahaan itulah yang akan memproduksi Gesits, sepeda motor listrik made in ITS. Itulah kotrak komersial pembuatan kendaraan listrik nasional pertama dalam sejarah Indonesia. ITS bersejarah. Di bidang kendaraan listrik nasional.
Semua itu tidak bisa dipisahkan dari peran kepemimpinan seorang doktor di ITS bernama Nur Yuniarto. Yang mendapat dukungan penuh dari rektornya. Sejak tahun 2011 sampai rektornya yang sekarang: Prof.Dr.Ir Joni Hermana MSc.
Nur dalam bahasa lain berarti cahaya. Saya memang melihat cahaya itu dari pribadi Dr Nur yang satu ini. Saya juga melihat cahaya itu terefleksi pada buku baru yang segera terbit. Dia yang menulis buku itu. Judulnya ‘Kendaraan Listrik: Teknologi untuk Bangsa’. Maka ketika Dr Nur (nama lengkapnya
Mohammad Nur Yuniarto) meminta saya menuliskan kata pengantar untuk buku barunya ini saya tidak pikir panjang. Langsung saya sanggupi. Apalagi Dr Nur datang ke rumah saya dengan pasukan lengkap tim kendaraan listrik ITS (Instuitut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya yang terkenal itu: Alief Wikarta yang menjadi wakilnya di tim, Indra Sidharta, Grangsang Setyaramadhani, Yoga Uta Nugraha, Agus Mukhlisin, Albertus Putra dan Affan Fakhrudin.
Dr Nur di mata saya adalah pribadi yang menarik. Tampilannya seperti seorang rocker. Badannya berisi. Rambutnya gondrong. Celananya belel. Bajunya nyaris urakan. Kalau saja dulu saya bertemu dia pertama di sebuah plaza, pastilah saya tidak menyangka sosok ini seorang doktor lulusan Manchester, Inggris.
Yang juga menarik adalah, Dr Nur ternyata bukan doktor tehnik elektro. S-1 nya memang diraih di ITS tapi ambil tehnik mesin. Doktornya yang dari Manchester itu juga tehnik mesin. Tapi perjuangannya untuk mobil listrik luar biasa. Dialah ketua tim kendaraan listrik ITS. Salah satu progran unggulan ITS yang sangat berhasil.
Yang juga istimewa adalah, untuk jadi doktor dia tidak harus melewati S-2. Dari S-1 dia langsung bisa ikut program S-3. Di Menchester University. Memang dia harus masuk program khusus dulu satu tahun. Setelah itu harus mengikuti tes. Ternyata lulus untuk langsung S-3. Sebelum berangkat ke Inggris dia mungkin takut pacarnya hilang: dia kawini dulu. Namanya Febrine Wulan Widyasari. Lulusan.akutansi Widya Mandala Surabaya. Lalu dia bawa serta ke Manchester. Anak pertamanya lahir di sana. Dua anak lainnya lahir di Surabaya.
Tim kendaraan listrik ITS kini sudah mendaftarkan 10 paten. Dan yang lagi disiapkan untuk didaftarkan lebih banyak lagi: 130. Semua di bidang kendaraan listrik. Semua itu bisa dihasilkan karena tim ini memang bekerja di luar kebiasaan. Siang malam mereka berada di lab dan bengkel. ITS memang menyiapkan gedung dan peralatan. Kunci gedungnya mereka yang pegang. Bisa buka-tutup hari apa saja, jam berapa saja. Rasanya bahkan tidak pernah tutup. Saya pernah hari minggu ke sana. Eh, buka juga.
Hebatnya Dr Nur hampir selalu berada bersama anggota tim. Sudah tidak bisa dibedakan mana mahasiswa dan mana dosen. Pakainnya maupun sikapnya. Pekerjaannya maupun belepotannya. Dr Nur sudah seperti teman bagi mahasiswa. Dosen sekaligus teman. Bapak sekaligus anak. Kakak sekaligus adik. Kesimpulan saya inilah kunci keberhasilan tim kendaraan listrik ITS.
Suatu saat Dr Nur diminta menyertai mahasiswa yang ikut lomba mobil listrik dengan tenaga surya. Rutenya maut: Dawin-Adelide (Australia). Jaraknya 3.300 km. Waktu tempuh: lima hari. Di situ doktor Nur diperlakukan seperti mahasiswa anggota tim. Juga tidur di pinggir jalan. Juga makan seadanya. Dan Dr Nur bisa menikmati kehidupan yang seperti itu. Isterinya juga bisa menerima gaya seperti itu. Pastilah sang isteri juga wanita hebat.
Maka dia enteng saja ketika saya tanya: kapan jadi guru besar? ‘Saya belum pernah mikir’ katanya. Bagaimana mau mikir jadi profesor. Setiap mau menulis (karya ilmiah) diajak mahasiswa ke bengkel. Siang malam. Tapi Dr Nur merasa puas dengan perannya seperti itu. Dia memperoleh kebahagiaan.
Memang dia tahu tunjangan gaji profesor cukup menggiurkan. Dapat tambahan penghasilan Rp 25 juta sebulan. Tapi dia tidak mau menjadi profesor dengan motiv seperti itu. Apalagi setelah jadi profesor ternyata berhenti memberikan sumbangan keilmuan dan karyanya. Sebuah sikap yang menarik.
Lihatlah: dia jarang naik mobil. Ke mana-mana naik sepeda motor. Termasuk ketika datang ke rumah saya. Mobilnya untuk istri mengantar anaknya sekolah. Saya berharap buku yang dia tulis ini menjadi salah satu karya tulis monumentalnya.
Dr Nur lahir di desa Grebek nan jauh dari kota Purworejo, Jateng. Setamat SMAN 1 Purworejo, pilihannya dua: Elektro ITB atau Mesin ITS. Kok gak milih UGM? Keluarganya sudah ada yang gagal di UGM. Takut ikut gagal. ITS menerimanya. Dan lulus terbaik di ITS untuk angkatannya: lulus tahun 1997.
Hobynya memang sejalan dengan apa dia tekuni saat ini: ngebut. Dengan sepeda motor. Ngebut itulah yang membuat dia akrab dengan mahasiswa pada umumnya dan para pengebut pada khususnya. Lalu ketika para pengebut itu menjadi aktivis bengkel Dr Nur ditarik untuk menjadi ketua gangnya. Pengebut tentu tidak mengenal fakultas. Dari fakultas mana saja: elektro, mesin dan tehnik industri. Karena itu tim kendaraan listrik ITS ini ada yang dari elektro, mesin dan fakultas lainnya.
Mahasiswa anggota tim yang dari tehnik mesin, Yoga, kini sudah berhasil membuat motor. Made in ITS. Yang tehnik elektro sudah bisa bikin controler. Bahkan sudah bisa bikin BMS (bateray management system). Termasuk merangkai baterai dalam satu system yang siap pakai. Inilah tiga jatung utama kendaranan listrik.
Dalam wujud kendaraan, tim ini juga sudah melahirkan produk siap produksi komersial. Bentuknya sepeda motor. Namanya Gesits. Ada huruf ITS di tiga terakhirnya. Saya sudah melihat contoh karya nyata ini. Saat saya ke ITS. Mengajak guru-guru SMK Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran, Magetan, untuk belajar pada tim ITS. SMK binaan keluarga besar saya ini ingin membuat sepeda motor listrik. Tentu harus belajar dari proyek Gesits. Yang sudah siap diproduksi secara massal.
Dan yang akan memproduksi pun sudah ada: PT Garasindo. Kebetulan pemilik Garasindo adalah alumni ITS juga. Mereka sudah bicara sangat detil. Sudah ada kontraknya. Inilah kontrak pertama produksi kendaraan listrik made in Indonesia dalam sejarah. Antara ITS dan Garasindo.
Meski buku ini tidak diniatkan untuk meraih gelar profesor tapi keilmiahannya terjamin. Dr Nur punya motif yang lebih besar dari raihan gelar. Motif utamanya untuk mendorong, menuntun dan mencerahkan semua pihak yang concern pada mobil listrik. Dr Nur melihat pemerintah kelihatan mau sungguh-sungguh mendorong mobil listrik nasional. Dr Nur menuliskan pandangannya yang menyeluruh. Baiknya. Buruknya. Tantangannya. Peluangnya. Lengkap.
Memang sebetulnya pemerintah yang bisa menjadi pendorong utama. Tidak usah bicara fasilitas. Atau insentif. Pemerintah cukup memberikan peraturan yang jelas. Tidak mbulet. Itu saja cukup. Agar jangan ada pihak yang ingin mewujudkan mobil listrik lalu dianggap melanggar karena peraturan yang belum ada atau aturan yang masih abu-abu. Mobil listrik adalah effisiensi nasional. Bahkan global.
Dr Nur menegaskan di buku ini: sebenarnya beli bbm untuk mobil itu borosnya luar biasa. Dari 100 persen bbm hanya 1 persen yang langsung terpakai untuk menggerakkan roda. Yang 99 persen tidak langsung untuk menggerakkan roda. Hahahaaa. Maka bacalah sendiri buku ini. Jelaslah semuanya.
Atau, dalam kata-kata Ricky Elson: kalau tidak ada industri nasional maka para lulusan fakultas tehnik tidak akan pernah melakukan pekerjaan engineering. Pekerjaan utamanya hanyalah membaca dan menganalisa katalog. Semua produk diimpor sehingga yang diperlukan adalah kemampuan membaca katalog produk orang lain. Dalam seminar di Ubaya minggu lalu saya pun mengutipnya: akankah kita lebih perlu mengadakan mata kuliah membaca katalog dari pada engineering?
Membaca draft buku Dr Nur ini kita mengetahui A sampai Z nya persoalan mobil listrik Indonesia. Selamat untuk Dr Nur Yuniarto. Selamat untuk Tim Kendaraan Listrik ITS. Selamat untuk ITS. Selamat untuk Indonesia.
Tinggal, adakah dukungan untuk memajukannya.