Dokter Hega, Resep Masak Ibunda, dan Budja
Ke luar dari jalan tol pintu Pasuruan, langsung masuk Jl. Urip Sumoharjo, Pasuruan. Belok ke kanan, sekitar 400 meter sebelah kiri jalan, ada resto yang layak dikunjungi.
Hagaa & Budja, nama resto itu, punya tempat parkir kendaraan yang amat luas. Meja dan kursi baik yang in door maupun out door, didesain untuk bersantai. Bangunan utamanya terkesan kuno, tapi dengan interior yang elegan paduan antara modern dan sejarah.
Di halaman, berbagai tanaman tumbuh rindang. Termasuk areal parkirnya diteduhi pohon-pohon besar. Beberapa pohon mangga berbuah ranum. Berbagai jenis tanaman anggrek menggantung.
Akhirnya, resto ini bukan saja tempat orang makan dan minum untuk keluarga, tapi juga tempat istirahat. Karena itu Budja juga menjadi alternatif Rest Area bagi yang melakukan perjalanan panjang melewati tol dari arah Surabaya – ke Probolinggo. Atau sebaliknya.
Rest area asli yang berada di KM 792.500, atau dua kilometer sebelum pintu keluar Pasuruan dari arah Surabaya, kurang enak untuk jadi tempat bersitirahat sambil mendinginkan mesin kendaraan. Apalagi kalau perjalanan bersama keluarga. Hanya ada beberapa kantin, terkesan darurat. Menggunakan kontainer ukuran 40 feet. Tak ada tanaman sehingga nampak gersang. Mungkin karena termasuk masih baru.
Selesai dari Budja bisa langsung kembali masuk tol, untuk meneruskan perjalanan sampai ke tujuan.
Menariknya, pengelola resto ini adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. Dan masih muda. Dokter Hega Rahmantya namanya, lahir awal Oktober 1992. Masih 27 tahun. Tapi dalam usianya itu, dia sudah punya visi.
“Saya sadar, sejak adanya BPJS maka profesi dokter tidak lagi istimewa. Ini fakta dan realita. BPJS membantu masyarakat, melalui dokter. Karena itu sekaliyan saya berpikir, profesi dokter ini sepenuhnya saya dedikaksikan untuk pengabdian. Saya memiliki komunitas sesama dokter, Malang Care, yang berkeliling untuk membantu masyarakat. Sementara untuk menunjang kehidupan, saya mencoba peluang bisnis. Keduanya sama sekali tidak saling berhubungan,” kata Hega.
Mengapa tertarik bisnis kuliner? “Saya terinspirasi oleh ibu saya, yang masakannya saya nikmati sejak saya masih kecil. Setiap hari saya nikmati dan saya kenali masakan ibu, sehingga saya benar-benar bisa menilai bahwa masakan ibu saya memang sangat enak. Masakan ibu saya itulah yang menginsipirasi saya, kemudian saya tawarkan kepada masyarakat,” lanjut putri sulung Heru Tjahjono yang Sekda Provinsi Jatim, ini.
Lodeh, cumi hitam, soto daging, garang asem, rawon iga, ayam goreng laos, sop buntut, nasi pecel, dan belasan menu lainnya yang ada di daftar menu Budja, semuanya berdasar resep masakan orang tua Hega, Gardjati.
“Semua menu yang kami sajikan di Budja adalah resep dari ibu saya. Bumbu-bumbunya asli, tanpa MSG. Resep ibu saya itu menurun dari ibunya, yaitu nenek saya. Budja, bumbu Bu Djati, kira-kira seperti itulah kalau ada yang bertanya, mengapa namanya Budja,” kata Hega.
Budja berada di tempat strategis. Arealnya sekitar satu hektar. “Ini adalah tanah peninggalan kakek saya, eyang Soenardi. Dahulu eyang bekerja di dinas pertanian dan perkebunan, jadi membuka kebun mangga di tepi Kota Pasuruan. Tapi ternyata eyang juga bisa melihat ke depan. Buktinya pintu masuk ke jalan tol letaknya tak jauh dari sini, sehingga tanah peninggalan eyang ini sekarang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Itulah yang saya maksud, eyang sudah melihat ke depan,” kata Hega di restonya, kemarin.
Hega juga seorang bariste. Peracik kopi. “Waktu ayah saya jadi Bupati Tulungagung, setiap hari kami minum kopi hasil perkebunan. Jadi sebenarnya saya jadi coffee lovers sudah lama, kemudian ketika makin tertarik, saya belajar meracik,” tambahnya.
Melalui proses yang cukup panjang itu, kini segala pengetahuan Hega tentang kopi dia hadirkan dalam banyak varian kopi di salah satu sudut di halaman Budja, bernama Hagaa. Pecinta kopi pun juga dimanja, di Hagaa & Budja. (nis)