Dokter di Jember Ajak Lawan Stigma dan Diskriminasi Soal HIV/AIDS
Pemahaman masyarakat Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) masih belum utuh. Sehingga para penderita dua penyakit tersebut sering mendapatkan perlakukan diskriminatif.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Universitas Muhammadiyah Jember dr. Hana Nadya mengatakan HIV dan AIDS merupakan dua penyakit yang berbeda. HIV adalah virus yang menyebabkan penurunan kekebalan tubuh, sedangkan AIDS adalah kumpulan gejala yang muncul akibat penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
Sejumlah individu yang rentan terhadap penularan HIV di antaranya, seseorang melakukan aktivitas seksual berisiko, golongan LGBT, pasangan dari pasien HIV positif, dan anak dari ibu yang positif HIV. Kemudian tenaga kesehatan yang memberikan perawatan, dan warga binaan dari lembaga pemasyarakatan juga rentan terhadap HIV.
Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan menghindari aktivitas seksual berisiko dan berbagi jarum suntik. Bagi warga yang sudah terjangkit saat ini dapat dengan mudah mengakses pengobatan, meskipun bertempat tinggal di pelosok desa.
Meskipun HIV/AIDS merupakan jenis penyakit yang sudah lama, namun pemahaman masyarakat terhadap penyakit tersebut belum utuh. Sehingga bermunculan mitos tentang penyakit tersebut.
Salah satu stigma yang masih ditemukan adalah anggapan bahwa HIV /AIDS mematikan. Padahal banyak penderita HIV/AIDS yang bisa hidup normal setelah menjalani pengobatan.
“Stigma yang melekat pada HIV/AIDS sebagai penyakit yang pasti mematikan. Padahal, dengan deteksi dini dan pengobatan efektif, banyak penderita HIV dapat menjalani hidup secara stabil,” katanya, Jumat, 1 Desember 2023.
Dokter Hana merinci perjalanan HIV/AIDS dari masa inkubasi hingga tahap AIDS. Awalnya, virus HIV masuk ke dalam tubuh penderita. Kemudian virus itu membutuhkan periode waktu sekitar 2 atau 4 pekan sebelum terjadinya infeksi akut. periode itu dinamakan dengan masa inkubasi.
Setelah memasuki tahap infeksi akut atau tahap pertama, pasien akan mengeluhkan gejala. Seperti demam, nyeri kepala, nyeri sendi, ruam-ruam di kulit, dan juga ada perasaan tidak enak badan seperti penyakit flu pada umumnya.
Tahapan selanjutnya, penyakit akan memasuki tahap infeksi kronis atau tahap kedua. Tahap penyakit infeksi kronis ini berlangsung cukup lama, ada yang 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan lebih.
Biasanya, setelah infeksi akut sudah mereda, pasien tidak memeriksakan diri ke fasilitas. Padahal tahap infeksi kronis inilah, virus HIV memperbanyak diri atau bereplikasi diri sehingga jumlahnya semakin banyak. Pada tahap inilah, proses kekebalan tubuh sudah mulai akan diganggu.
Saat seseorang mengalami penurunan kekebalan tubuh akibat HIV.AIDS, terkadang justru mendapatkan perlakukan diskriminatif. Penderita penyakit tersebut sering dikucilkan dan dijauhi.
Atas kondisi tersebut, dokter Hana mengajak masyarakat untuk melihat penyakitnya, bukan orangnya. Hana menegaskan bahwa HIV tidak menular melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan atau bertukar alat makan.
“Infeksi virus HIV menular melalui kontak darah dan juga kontak seksual, tetapi tidak menular melalui berjabat tangan, menyentuh pasien, ataupun bertukar alat makan dengan pasien, sehingga kita tidak perlu memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap pasien HIV, Konsep yang perlu dipegang adalah jauhi penyakitnya, bukan orangnya,” tegasnya.
Lebih jauh dokter Hana mengajak masyarakat yang merasa memiliki risiko tinggi, untuk melakukan pemeriksaan di sarana kesehatan terdekat. Pihak pemerintah juga melakukan program screening sebesar-besarnya, dengan cara melakukan screening pada setiap pasien ibu hamil, pasien tuberkulosis, pasien hepatitis B/C.
“Segera lakukan pemeriksaan di sarana kesehatan terdekat untuk deteksi dan pengobatan dini HIV, karena pentingnya deteksi dini dan pengobatan untuk memastikan kualitas hidup yang baik bagi penderita HIV,” pungkasnya.