Dokter Dahlan di Singapura: Untung Anda Tidak Meninggal Sewaktu di Madinah
Robert Lai menjemput saya di bandara Changi. Meski duduk paling depan saya menjadi penumpang terakhir yang keluar dari bandara. Ini karena saya tidak bisa berjalan cepat.
Bahkan saat keluar dari pintu pesawat, di dalam lorong garba rata, saya harus berhenti tiga kali. Posisi garba ratanya agak naik. Maklum pesawat yang saya naiki jenis 737 yang lebih rendah dari posisi terminal.
Baru sekali ini saya merasakan beratnya nafas. Jalan beberapa langkah harus berhenti. Istri saya memang melarang saya pergi sendirian dalam kondisi sakit.
Tapi saya ngotot tidak perlu ada yang menemani. Toh begitu keluar bandara sudah ada Robert Lai. Yang mampu mengurus semua keperluan. Pendamping saya nanti hanya akan menambah beban. Terutama beban untuk Robert.
Sepanjang jalan di terminal menuju imigrasi saya terus disalib penumpang lain. Untungnya banyak yang minta foto bersama. Lumayan. Saya bisa berhenti lagi dan berhenti lagi dengan alasan lagi berpose. Padahal sebenarnya saya memang ingin berhenti.
Saya paksakan tersenyum di depan kamera. Mereka tidak tahu tersiksanya dada ini.
Robert sudah menunggu di luar. Saat menuju tempat parkir mobilnya, saya tertinggal jauh di belakangnya. “Dengan jalan seperti ini kamu terlihat begitu tuanya,” katanya berseloroh.
Dia tidak tahu saya benar-benar menderita. “Benar-benar sakit ya?” tanyanya. Lalu merebut tas saya untuk dia bawa. Biasanya saya memang berjalan lebih cepat dari Robert.
Kami langsung menuju rumah sakit Katolik Mount Alvernia. Dokter Wong dan anaknya, dokter Mark Wong, sudah menunggu.
Keduanya ahli pencernaan. Dokter langsung melakukan pemeriksaan. Dan memberitahukan bahwa besok pagi saya harus siap menjalani indoskopi. Saya ceritakan hasil pemeriksaan di Madinah: jantung saya prima. Sudah lima hari tidak bisa kentut dan pup.
Pemeriksaan pun fokus ke pencernaan.
Saat pemeriksaan itulah dia curiga. Perut saya tidak segawat penderitaan saya.
Tekanan darah saya tinggi: 165/95.
“Lakukan CT scan saja dulu. Kok ini mencurigakan,” katanya.
Dokter Wong minta seorang ahli jantung datang ke RS. Namanya James Wong, untuk ikut melihat hasil CT scan.
“Langsung masuk ICU!,” ujar James Wong setelah membaca hasil CT Scan.
“Kenapa?” tanya saya.
“Nanti saja saya jelaskan. Masuk ICU dulu,” perintahnya pada perawat.
Setelah semua peralatan ICU ditempelkan di badan saya barulah James Wong memberi penjelasan.
“Anda ini menderita aorta dissection,” katanya.
Saya belum pernah mendengar istilah itu. Kok kelihatan begitu gawat. Langsung perintahkan masuk ICU.
Sambil mengamati layar monitor, James Wong menggambar jantung. Disaksikan oleh Robert Lai juga. Lalu menggambar saluran darah utama yang keluar dari jantung. Bercabang menuju otak kanan dan lengan kanan.
Setelah itu ada cabang lagi menuju otak belakang. Berikutnya ada cabang lagi menuju otak kiri dan tangan kiri. Setelah itu saluran utama darah tersebut berbelok ke bawah. Untuk mengalirkan darah ke perut, liver, ginjal, pankreas dll melalui cabang masing-masing. Di bawah perut saluran darah utama itu bercabang dua: menuju kaki kiri dan kaki kanan.
“Dari hasil CT scan ini terlihat saluran utama darah Anda pecah,” katanya.
“Untung Anda tidak meninggal waktu itu terjadi di Madinah,” tambahnya. Lalu, sambil terus mengamati layar monitor yang merekam jantung, tekanan darah dan detak jantung, James Wong menguraikan rencana tindakan untuk mengatasinya.
Ada dua skenario. Yang mana yang dipilih tergantung hasil CT scan sekali lagi. Yang lebih rinci. Akan dilakukan CT Scan khusus untuk otak, leher, dada, perut dan jantung. Jadwalnya keesokan harinya.
Dokter Mark Wong membatalkan rencana memasukkan alat ke perut saya. Meski rencananya sudah matang tapi kurang relevan lagi. Ternyata saya tidak punya persoalan pencernaan.
Skenario pertama adalah dilakukan bedah leher. Akan dibuatkan bypass saluran darah baru. Dari cabang yang menuju otak kiri ke saluran darah yang menuju otak kanan.
Dengan demikian pasok darah untuk otak kanan dan lengan kanan didapat dari saluran baru itu. Agar saat aorta dissection diatasi tidak terjadi stroke.
Saya ngeri-ngeri sedap mendengar operasi bypass di leher itu. Membayangkan apa saja yang akan terjadi. Tapi kalau memang sudah takdir saya menerimanya. Saya harus menjalani operasi besar lagi. Setelah 10 tahun lalu menjalani operasi ganti hati.
Skenario kedua, tidak perlu bypass. Asal aorta dissectionnya terjadi di saluran darah agak jauh dari cabang-cabang menuju otak tadi. Kalau ini yang terjadi, sakit saya ini disebut aorta dissection type B.
Semuanya belum bisa dikatakan sekarang. Baru jelas setelah CT scan yang lebih khusus dilakukan.
Sambil menjelaskan skenario-skenario itu, James Wong sesekali menatap layar monitor. Kian lama wajahnya kian tegang. Posisi saya tidak memungkinkan ikut melihat layar monitor. Saya hanya bisa membacanya lewat ekspresi wajah James Wong.
“Kok tekanan darah naik terus ya…,” katanya. Dia panggil perawat. Untuk memasukkan obat penurun tekanan darah. Lewat selang infus yang sudah terpasang. Tapi tekanan darah masih naik lagi.
James minta obatnya ditambah. Masih naik lagi. Minta ditambah lagi. Angka menunjukkan 200. James tampak gelisah sekali. Mondar-mandir. Tegang.
“Berapa?” tanyanya pada perawat. “210,” jawab perawat. James tidak bisa berkata-kata lagi. Tangannya yang bicara. Memberi isyarat kepada perawat. Untuk terus menaikkan obat penurun tekanan darah. Sampai maksimal.
James menangkap kegelisahan saya. “Jangan khawatir. Saya tidak akan pulang sebelum tekanan darah Anda teratasi,” kata James Wong. Saya tetap khawatir. Dia pun mengatakan akan membatalkan seluruh janji.
Beberapa saat kemudian, tekanan darah saya menurun. Terus menurun. James lega. Apalagi saya. Setelah tekanan stabil dia pun pamit. Dengan janji akan terus memonitor keadaan saya lewat telepon.
Saya pasrah. Terus memikirkan tindakan yang akan dilakukan untuk atasi aorta dissection itu. Skenario yang mana pun saya sudah siap.
Saya tidak menceritakan itu kepada keluarga di Surabaya. Biarlah semua jelas dulu. Saya tahu istri saya lagi susah. Ibunya malam itu masuk rumah sakit di Tenggarong, Kutai Kartanegara. Saya tidak mau menambah beban batinnya. Saya juga tahu dia percaya penuh pada Robert Lai yang akan merawat saya sepenuhnya.
Malam itu saya lewatkan di ICU sendirian. Ditemani dzikir tiada henti.
(bersambung)