Dog Dog Dog... Bukan Menyeru Anjing, Tapi Bunyi Tenun Gedog
Bunyinya khas. Kalau lidah Jawa mengejanya dengan begini: dag dog dag dog. Itu artinya bunyi gedog yang diulang-ulang. Bukan gedog memalu dinding untuk tancapkan paku lho ya, tapi bunyi gedog lembut akibat benturan kayu dengan kayu yang kemudian menghasilkan tenun gedog.
Tenun Gedog. Tentu bukan baru. Ini adalah sebuah aktivitas tradisi yang sangat lama dan diuri-uri. Dipertahankan, jadi kebanggaan, bahkan menjadi program nasional. Semua ini harus dilakukan, sebab tanpa semua itu aktivitas tradisi dan budaya ini memungkinkan akan punah.
Indikasi menuju itu sudah ada. Sebagai bukti: dari hari-hari, tahun ke tahun, aktivitasnya makin menyempit. Pelaku menyusut. Pelaku dan perajin pada “punah”, sementara generasi penerusnya adalah pengikut zaman yang acap kali tidak begitu telaten mengawal tradisi.
Tenun Gedog, di Provinsi Jawa Timur, hingga kini, masih cukup subur di wilayah Kabupaten Tuban. Kesuburan ini tidak secara otomatis menjadi jaminan bahwa Tenun Gedog Tuban akan selalu terus menerus subur, mengingat zaman bergeser cepat. Para pelaku – yang biasanya sekaligus menjadi perajin – rata-rata umurnya sudah beranjak tua.
Membaca fenomena ini, Tenun Gedog dijadikan program prioritas nasional untuk dilestarikan dan kemudian dikembangkan maksimal. Tenun Gedog Tuban, dalam kaitannya dengan program itu, juga dijadikan satu di antara enam sentra pengembangan batik tenun nasional.
Enam sentra pengembangan batik tenun nasional adalah Tuban, Bangka Belitung, Donggala, Sintang, Sabu NTT, dan Kalimantan Timur. Sayangnya, pemanfaatan batik tenun gedog hingga saat ini masih terbatas pada dekorasi interior. Karena itu Indonesia sangat perlu melakukan upaya untuk memperluas penggunaan batik tenun Tuban.
Sisi lain, batik gedog itu sebenarnya terus berkembang. Perkembangan itu bisa dicatat dari jumlah 1.234 usaha batik gedog yang ada. Memang lebih banyak sebagai usaha rumahan. Namun, meski nampak hanya rumahan, tenaga yang tertampung bukan main banyaknya. Mencapai 1.701 tenaga kerja. Itu semua berada di wilayah pedesaan.
Tuban ini memang Jawa Timur yang berbeda. Utamanya bunyi dog dog dog itu. Sama sekali tidak terdapat di walayah lain. Di Tuban, secara turun-temurun orang membatik pada kain tenun. Keunikan lainnya bisa dijumpai pada proses pembuatan Batik Gedog itu sendiri. Simak saja, untuk satu desain membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Perajin batik harus melewati proses panjang dari memintal benang, menenun, membatik dan melakukan pewarnaan dengan bahan alami.
Kepala Desa Margorejo, Junaedi, tempat sentra tradisi ini berada, mengaku bangga bukan main. Desanya mendapatkan perhatian penting dari Pemerintah Pusat. Jelas ini makin membawa pamor kinclong bagi desanya.
Menurut Juanedi, Margorejo juga harus berbenah. Total kalau perlu. Agar para peminat tradisi tenun ini tidak memandang miring kalau sudah berada di dalam Margorejo. Betah, lalu belanja. Ekonomi bisa tegak lurus. Contoh kecil berbenah itu: jalan-jalan protokol dipasangi lampu. Jalan-jalan juga diberi marka. Diberi list putih untuk jalur di pinggir. Mungkin juga perlu umbul-umbul dipasang dari ujung ke ujung. Biar rame-rame, biar hidup, biar mengkilap. Kampung dibersihkan. Jemuran-jemuran baju, yang biasa cementel bebas di depan rumah dilarang. Intinya, Margorejo harus bersih dan indah.
Lalu, harus selalu ada atraksi perajin batik Tenun Gedog. Misal, proses memintal kapas, membatik, pewarnaan, hingga finishing dikerjakan di depan rumah. Tujuannya, agar semua aktivitas perajin bisa dilihat dengan mudah oleh para tetamu. Andikan ada yang bertanya, boleh jadi ada juga yang menjajal proses membatik tenun, semua sudah siap. Lalu bungkus dan bawa pulang. (*)