Doa dan Salto Widodo
Besok sore, Selasa, 10 September 2009, Timnas Sepak Bola Indonesia akan bertanding dengan Timnas Thailand. Ini laga lanjutan Grup G kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia. Minggu lalu, Timnas sudah kalah oleh Timnas Malaysia.
Saat itu, Kamis malam, 5 September 2019. Skor kalahnya 2-3. Banyak yang kecewa setengah gila. Maklum, kemenangan sudah di depan mata. Sayang, di menit-menit terakhir semua tinggal petaka.
“Semua melihat pertandingan secara langsung. Banyak yang harus diperbaiki,” ungkap Mas Widodo C. Putro. Salah satu legenda sepak bola ini, saya temui tanpa sengaja serta tanpa rencana.
Ceritanya, saya bersama seorang teman, makan siang di sebuah warung sop buntut. Lokasinya di depan Kantor KONI di Senayan. Saat itu, kami sedang khusyuk menyantap iga bakar.
Potongan iga dibakar sempurna. Warnanya kuning keemasan. Kuah sopnya juga gurih. Dagingnya saat digigit lembut. Nikmat sekali makan siang kami.
Memang, olahan sop buntut atau iga di Warung Ibu Samino ini, terkenal enak dan maknyus. Warungnya bersih. Harganya juga bersahabat.
Warungnya dekat banyak kantor penyelenggara olahraga. Semisal Kantor Pengelola Senayan, Kantor KONI, Kantor Panitia Pelaksana Asian Games 2018 (INASGOC), hingga Hotel Atlit Senayan. Tak heran, banyak atlet bersantap di sini.
Siang itu, beruntung, saya bertemu Mas WCP, panggilan akrab Mas Widodo. Inisial WCP itu sesuai singkatan namanya. Dia tidak datang sendirian.
Ada juga salah satu mantan pemain Timnas, Pak Bambang Nurdiansyah. Pak Bambang sekarang melatih klub Cilegon United. Keduanya memesan sop buntut.
Seusai mereka santap siang, saya pun pindah ke meja makan mereka. Berkenalan dan ngobrol tentang sepak bola. Sebuah hal yang dia geluti sehari-hari.
Karena baru saja kejadiannya, saya meminta komentarnya atas kegagalan Timnas Indonesia. Karena dia sudah mengalami dua posisi. Baik sebagai pemain Timnas atau pelatih Timnas U-21 atau asisten Timnas U-23.
Mas WCP bercerita, selalu banyak komentar dan kritik atas Timnas. Tapi, banyak yang selesai sebatas kritik saja. Tapi, baginya mendukung perbaikan Timnas sangat penting.
“Setidaknya, melalui akademi sepak bola, saya turut melahirkan talenta berbakat,” ungkap mantan Pelatih Sriwijaya FC dan Bali United ini. Dia menyebut nama Evan Dimas Darmono, salah satu gelandang jangkar terbaik Timnas Indonesia.
Akademi buah karyanya dinamai Wahana Citra Pesepakbola (WCP). Mulai beraktifitas pada April 2011 di Gresik, Jawa Timur. Lebih dari 100 siswa yang sudah merasakan tangan dinginnya.
Doa lainnya, juga tersalurkan melalui Persita Tangerang. Saat ini, dia melatih Persita yang berkiprah di Liga 2 2019. Di Liga 2, ada aturan tidak menggunakan pemain asing.
Setidaknya, di matanya, hal itu memfasilitasi potensi pemain lokal. Bila para pemain melihat peluang ini. Dengan kerja keras, tentu mereka bisa bersaing dengan pemain asing.
“Apa perbedaan antara jadi pelatih dan pemain?” tanya saya. Mas WCP terdiam sebentar. “Kalau pemain, ketika kalah ditanggung bersama,” jawabnya.
“Namun, kalau jadi pelatih, saat kalah ditanggung sendirian,” lanjutnya sambil tertawa getir. Kekalahan memang menyakitkan. Walau sudah sedih, masih harus menerima kritik atau cemoohan orang lain.
Kadang, banyak pemain atau pelatih yang terganggu saat dikritik. “Kalau saya, ya saya nikmati. Saya biarkan saja,” tuturnya. Jadi, dia pun masih tetap santai menanggapi komentar nyinyir di media sosialnya.
“Ya, saya tetap main medsos. Saya baca kritik itu. Tapi setelah itu ya sudah,” katanya. Latihan harus diteruskan. Hidup juga harus terus berjalan. “Yang pokok, kita sudah bermain terbaik,” paparnya.
Prinsip dia sederhana. Kalau misalnya klub sudah tidak mempercayainya, dia mengaku siap berhenti kapan saja. “Kalau mereka sudah ngga butuh, ya saya siap saja berhenti,” tegasnya.
Di masa senggang, Mas WCP kadang menengok cafenya di Gresik. Kafe itu bernama WCP Kafe & Resto. Menunya melintas usia, baik untuk anak muda hingga orang tua ada.
Kafe itu buah keringatnya saat merumput di Persija Jakarta. Dia membela skuad Macan Kemayoran pada 1998 hingga 2002. “Buat aktifitas saat pensiun,” jelasnya sambil tertawa. Dia memberikan gelar Liga Indonesia VII untuk klub kebanggaan warga Jakarta pada tahun 2001.
Di kafe ini pula, terpajang kaos Timnas saat dia melakukan tendangan salto yang terkenal itu. Kaos Timnas berwarna merah, dipigura dan ditempel dengan memorabilia lainnya. Jejak sejarahnya dalam dunia sepak bola.
“Inilho Mas, fotonya,” jelasnya sambil menunjukkan telepon genggamnya. Foto itu diposting di media sosialnya. Lengkap dengan pernak pernik kegiatan sepak bola dan kafenya.
Tendangan fenomenal itu ditorehkannya di Piala Asia 1996. Tendangan yang berbuah gol indah itu tercatat dalam sejarah. Karena dialah pemain Indonesia pertama yang mencetak gol di Piala Asia.
Mas WCP memberi kenangan indah itu, saat Timnas Indonesia melawan Kuwait pada 4 Desember 1996. Awalnya, adalah umpan silang dari sisi kanan oleh Ronny Wabia. Melihat umpan matang itu, dia langsung berbalik badan dan melakukan tendangan salto.
“Itu tidak direncanakan atau dipikirkan,” katanya. Tapi, sebagai pemain, harus jeli melihat jalannya pertandingan. “Sebagai pemain, kita harus cepat mengambil keputusan,” katanya.
Kaos asli kedua dalam pertandingan itu berwarna putih. Dia hadiahkan kepada vokalis band The Masiv, Rian Ekky Pradipta. Lengkap dengan tanda tangannya. Saat itu, Rian mampir ke Kafe WCP.
Sayangnya, untuk sepatu tendangan salto itu tak berjejak lagi. Raib. Ceritanya, salah satu kakaknya yang meminta. “Memaksa minta, ya saya kasihkan saja,” katanya.
Percakapan kami tak bisa berlangsung lebih lama lagi. Bersama Pak Bambang, Mas WCP meminta undur diri. “Tetap semangat ya Mas, demi kejayaan sepak bola Indonesia,” ucap saya sambil menjabat tangannya.
Ajar Edi, kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibarengi.id
Advertisement