Doa Buka Puasa Kok Dilarang? Ini Penjelasan Ulama
Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam adalah rahmat. Namun, ada juga pendapat yang sesungguhnya mengada-ada. Seperti, pendapat "Doa Buka Puasa (Allahumma Laka Shumtu) Yang Dituduh Dhaif dan Bidah".
Benarkah demikian? Untuk memperjelas masalah ini, berikut penuturan Ustadz Ma'ruf Khozin, Pengasuh Pesantren Aswaja Sukolilo Surabaya:
Ngaji Bareng Daring (Dalam Jaringan/ online) beberapa waktu lalu bersama PCI NU Jerman ada pertanyaan yang mengulang terus tiap tahun dari sebuah broadcast yang lagi-lagi menyalahkan doa berbuka puasa "Allahumma Laka Shumtu" yang sudah populer di kalangan Nahdliyyin. Mereka menawarkan doa lain yang sahih, menurut mereka.
Puasa itu waktu yang tepat untuk banyak-banyak ibadah, bukan menghujat atau menyalahkan. Apalagi saat-saat berbuka puasa adalah momentum tepat untuk berdoa kepada Allah. Bahkan orang yang berbuka puasa ini diberi kemakbulan doa sebagaimana dalam hadits:
«ﺇِﻥَّ ﻟِﻠﺼَّﺎﺋِﻢِ ﻋِﻨْﺪَ ﻓﻄﺮﻩ ﻟَﺪَﻋْﻮَﺓً ﻣَﺎ ﺗُﺮَﺩُّ»
"Sungguh bagi orang yang berpuasa -saat berbuka- memiliki doa yang tidak akan tertolak" (HR Ibnu Majah. Bagi yang hendak menilai dhaif karena ikut syekh Albani silahkan cek di kolom komentar bahwa hadis ini memiliki 3 jalur yang menguatkan antara satu dengan lainnya yang saya kutip dari sesama kelompok mereka, Syekh Syuaib Al Arnauth)
Karena saat berbuka adalah waktu istijabah dalam berdoa maka boleh pakai doa apa saja. Mau doa dari Nabi, doa sendiri atau apapun. Sebab doa tidak ada syarat harus sahih atau dhaif.
Terkait tuduhan dhaif dari pengikut syekh Albani maka saya sertakan penilaian sebaliknya dari sesama mereka. Simak saja penjelasan berikut:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ». (رواه أبو داود)
Telah sampai kepada Muadz bin Zuhrah bahwa jika Nabi shalallahu alaihi wasallam berbuka maka berdoa: “Ya Allah, hanya untuk Mu aku berpuasa, atas rezeki Mu aku berbuka” (HR Abu Dawud)
Doa ini dituduh bidah oleh sebagian kalangan lantaran statusnya adalah dhaif. Benarkah? Tidak benar, sebab hadis ini memiliki banyak jalur. Misalnya (1) dalam riwayat Thabrani di kitab Mu’jam Ausath, di dalamnya ada perawi Dawud bin Zabarqan, ia dlaif (2) riwayat Thabrani dalam Mu’jam Kabir, di dalamnya ada perawi Abdul Malik bin Harun, ia dlaif (Majma’ Az-Zawaid 3/204). Kendatipun dlaif, ulama Salafi lainnya berkata dan menegaskan hadis ini memiliki banyak Syawahid:
تعقيب : قال عبد القادر الأرناؤوط 1 / 162 : و لكن له شواهد يقوى بها (روضة المحدثين - ج 10 / ص 304)
*) Catatan: Abdul Qadir Al-Arnauth berkata: “Namun hadis ini memiliki banyak riwayat eksternal yang menguatkannya” (Hamisy Raudlah Al-Muhadditsin, 10/304)
Advertisement