DK-PWI Dorong Wartawan Investigasi Kasus Penembakan Laskar FPI
Silakan wartawan melakukan investigasi kasus penembakan enam anggota FPI (Front Pembela Islam) yang terjadi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, Senin kemarin. Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat mendorong wartawan Indonesia untuk mengungkap kasus tersebut secara independen dan profesional.
Dorongan kepada wartawan untuk mengungkap kasus Tol Jakarta-Cikampek yang telah menjadi sorotan internasional ini disepakati dalam pertemuan anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat yang digelar Selasa sore, di Jakarta.
Hadir dalam pertemuan anggota Dewan Kehormatan PWI antara lain ketuanya, Ilham Bintang, didampingi Sekretaris DK Sasongko Tedjo bersama dengan anggota masing-masing Tri Agung, Asro Kamal Rokan, Raja Parlindungan Pane, dan Nasihin Masha.
Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang menegaskan, Dewan Kehormatan PWI Pusat perlu membuat pernyataan untuk mengurangi keraguan wartawan dalam mengungkap kebenaran dalam kasus tewasnya enam anggota FPI ini.
“Pernyataan ini perlu dikeluarkan untuk mengurangi keraguan wartawan dan media dalam melakukan investigasi terhadap peristiwa tol Cikampek,” katanya.
Langkah wartawan untuk mengungkapkan kasus di tol Cikampek bukan untuk mencari siapa salah dan siapa benar, melainkan untuk menjalankan fungsi pers yang sesungguhnya, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia.
Menurut Asro Kamal Rokan, mantan Dirut LKBN Antara dan mantan Pimred Harian Republika, semangat kita adalah menjaga kemerdekaan pers, mentaati kode etik dan kode perilaku wartawan.
Sementara Tri Agung menjelaskan bahwa dalam buku “Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Diharapkan Publik”, pakar jurnalislistik Bill Kovach dan Tom Rosentiel mengingatkan elemen dasar jurnalistik yang seharusnya dipatuhi oleh seorang wartawan.
"Elemen itu pada perkembangannya bertambah menjadi sepuluh, dengan masuknya jurnalisme warga. Namun, hal utama yang tidak boleh dilupakan wartawan, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Selain itu, Bill dan Tom mengingatkan pula, loyalitas pertama jurnalisme itu pada warga, dan wartawan seharusnya berdisiplin dalam memverifikasi data dan informasi yang diperolehnya," kata Tri Agung.
Tidak boleh ditinggalkan pula, lanjutnya, karena bertanggungjawab pada publik, maka wartawan harus menjaga jarak yang sama terhadap narasumbernya dan menjadi pemantau yang independen terhadap kekuasaan. Hal dasar dalam jurnalisme yang dianut banyak wartawan di seluruh dunia itu sebenarnya tersedia pula di Kode Etik Wartawan Indonesia tahun 2006, yang diinisiasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pula, bersama organisasi kewartawanan lain dan Dewan Pers.
"Pasal 1 Kode Etik Wartawan Indonesia ditegaskan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, sesuai pasal 2. Selain itu, pada pasal 3 dan 4 ditegaskan, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah," jelas Tri Agung.
Mengenai peristiwa ditembaknya enam anggota FPI kemarin, Dewan Kehormatan PWI Pusat mendorong wartawan Indonesia untuk dapat mewujudkan keterbukaan informasi, sehingga duduk perkara kasus itu terungkap.
Hal ini senada pula dengan pesan Penasihat PWI Pusat Jakob Oetama (1931-2020), dalam buku “Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus” (Penerbit Buku Kompas, 2004), yaitu, orang membaca surat kabar untuk mencari informasi, yakni informasi yang cukup lengkap, sehingga jelas duduknya perkara dan karena itu memberikan bahan informasi yang berarti. Di era saat ini, media bukan hanya surat kabar, tetapi juga media elektronik televisi dan radio, serta media online, tambah Tri Agung.
Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat Raja Parlindungan Pane pun menambahkan, pers harus obyektif dan menjunjung tinggi cover both side dan menyampaikan fakta yang terjadi. Pers jangan sampai partisan dan akhirnya PWI terkena imbasnya.
Sementara Nashihin Masha menambahkan, wartawan harus menjunjung fakta yang ditemukannya, bukan sekadar mengikuti pendapat narasumber. Oleh karena itu, untuk mampu mengungkapkan fakta terkait kasus di tol Cikampek yang sesungguhnya, tak bisa lain, wartawan harus turun ke lapangan.
Menurut Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat Sasongko Tedjo, dalam melakukan upaya mengungkapkan kebenaran terkait kejadian di tol Cikampek, wartawan tetap harus mengutamakan keselamatannya, terutama dalam situasi pandemi Covid-19 hari ini. "Tidak ada berita sehebat apapun yang seharga dengan keselamatan jiwa wartawan," kata Sasongko Tedjo. (nis)