Djaduk, Arief, Maafkan Saya tidak Bisa Legowo
Oleh: A.S. Laksana
Saya terbangun pukul dua dinihari, lalu melangkah sempoyongan dan mencari-cari sesuatu di kulkas, lalu duduk di depan komputer, lalu sebuah pesan masuk menjelang subuh di grup WhatsApp kami yang anggotanya hanya tujuh orang: saya, Yusi Avianto, Dalipin, Hamid Basyaib, Ichsan Loulembah, Butet Kartarejasa, dan Ben Sohib. Butet yang mengirimkan pesan: RIP. Djaduk Ferianto telah mendahului kita.
Itu kali pertama Butet mengirimkan pesan serius di grup kami, dan saya yakin ia pedih mengirimkan kabar seperti itu tentang adiknya, tetapi ia harus melakukannya. Saya hanya memandangi pesannya, lama sekali, dengan jari-jari yang tidak tahu harus mengetik apa untuk menanggapi pesan itu. Namun, air mata lebih tahu apa yang harus dilakukan: Ia mengalir pelan-pelan, membentuk dua sungai kecil di pipi.
Sebelum Butet, pesan terakhir di grup dikirimkan oleh Ichsan Loulembah. Ia mengunggah poster pementasan Teater Gandrik, dengan lakon “Para Pensiunan”, Surabaya pada 6-7 Desember. Sutradara: G. Djaduk Ferianto.
Saya lelah dan tertidur di kursi ketika cahaya pagi mulai menerobos jendela dan terbangun tiga jam kemudian dengan tulang-tulang terasa meleset semua, dan Adi Wicaksono menelepon: “Teman kita satu lagi meninggal, Kisanak. Arief Santosa.” Titik.
Kami sama-sama tidak bisa melanjutkan percakapan. Dan, dalam situasi kocar-kacir seperti ini, rasanya memang tidak ada yang bisa dipercakapkan.
“Saya punya salah apa terhadap Jawa Pos sehingga koran ini menolak cerpen saya?”
Pesan itu saya kirimkan ke Arief Santosa sebelas tahun lalu. Ia redaktur sastra di koran itu dan jauh sebelumnya, pada 1992, kami pernah naik bis bersama ke Surabaya, tidur berdua di musala terminal karena tiba kepagian, dan siangnya mengurus administrasi di kantor Jawa Pos. Hari itu kami menjadi reporter Jawa Pos. Saya ditugaskan di Magelang; Arief di Purwokerto. Saya hanya satu setengah bulan; Arief bertahan sampai tubuhnya tidak mengizinkan.
Prestasi saya selama satu setengah bulan itu sungguh memalukan. Saya melamar jadi wartawan karena selalu membayangkan liputan-liputan besar: mewawancarai tokoh-tokoh politik dunia seperti Oriana Fallaci, membongkar skandal kepala negara seperti dalam film All The President’s Men, atau menjadi sopir ambulans di medan perang seperti Hemingway.
Itu tak mungkin saya dapatkan di Magelang. Di tempat ini saya hanya meliput orang berebut kandang ayam, pernikahan massal, atau paling banter mendengarkan pidato Panglima ABRI saat ia berkunjung ke Akademi Militer.
Saya masih bisa tahan jika harus meliput kandang ayam, tetapi benar-benar tidak sudi jika harus memberitakan omongan Pangab. Waktu itu Pak Ttry Sutrisno mengingatkan tentang ancaman “Kiri Baru” dan saya mencibir dalam hati: Ngomong apa sampean, Pak?
Besoknya redaktur menelepon ke kantor biro Jokja dan menanyakan kenapa saya tidak meliput Pak Try dan saya jawab pertanyaannya kalem sekali: Saya meliput.
“Kenapa tidak menulis berita? Sudah baca Kompas? Berita itu jadi headline di Kompas,” katanya.
“Pidatonya jelek, Mas. Jika Kompas menjadikannya headline, itu urusannya sendiri. Saya tidak mau memberitakan pidato jelek,” kata saya.
Seminggu setelah itu saya pamit mundur, dan sebulan setelah itu berangkat ke Jakarta, bergabung dengan teman-teman di tabloid DeTIK. Saya cocok di sini; semuanya saya kenal dan semuanya tidak tahu cara menulis berita, kecuali Budiono Darsono, yang marah-marah setiap malam deadline karena harus menghadapi wartawan-wartawan yang menyetorkan makalah dan menganggap itulah berita yang bagus.
Arief Santosa tetap di Purwokerto. Ia wartawan yang baik dan mampu menulis dua atau tiga berita setiap hari dan beberapa tahun kemudian saya mendengar ia ditarik ke kantor pusat di Surabaya, lalu menjadi redaktur, lalu ditugasi menangani rubrik sastra, lalu saya mengirimkan SMS bernada intimidatif kepadanya.
Tak sampai semenit setelah SMS itu terkirim, telepon saya berdering. Dari Arief: Aku nggak pernah terima cerpenmu, Dab. Kapan kirimnya? Coba dikirim lagi. Beneran, aku nggak…
Panjang sekali ia meyakinkan saya, dan saya hanya mendengarkan dan baru bicara setelah ia selesai menjelaskan: Memang aku belum kirim cerpen ke Jawa Pos, Dab. Itu tadi cuma simulasi. Jangan pernah seumur hidupmu kau menerima SMS seperti itu dari aku.
“Ya, sudah, cepat kirim cerpenmu,” katanya.
“Nggak mau. Kalian membayar honor kecil,” kata saya.
“Sudah naik, Dab. Aku sudah usul agar honor cerpen Jawa Pos sama dengan honor cerpen Kompas dan disetujui.”
“Honor Kompas terlalu kecil.”
Saya lalu menyebutkan honor yang saya minta dan ia berjanji meneruskan permintaan saya ke pemimpin redaksi.
“Mudah-mudahan disetujui,” katanya.
“Kalau tidak disetujui, tidak usah dimuat, berapa kali pun aku kirim cerpen,” kata saya.
Besoknya ia menelepon lagi dan mengabarkan bahwa permintaan saya disetujui.
“Pak Dahlan juga setuju kamu mengisi kolom Ruang Putih tiap Minggu,” katanya. Dahlan Iskan waktu itu sudah menjadi Dirut PLN, tetapi masih sering ikut rapat dan matanya masih awas jika ada wartawan yang menurutnya ngawur menulis berita. Ia juga masih membaca cerpen yang dimuat Jawa Pos.
“Minggu lalu aku dimarah-marahi karena memuat cerpen yang menurutnya jelek sekali,” kata Arief.
Setelah pemuatan cerpen saya yang pertama di Jawa Pos, tiga Minggu kemudian saya mulai menulis kolom Ruang Putih, yang saya kirim naskahnya mula-mula pada Jumat sore, kemudian bergeser Jumat malam, dan kemudian Jumat tengah malam. Ia mengeluh ketika saya mulai mengirimkan tulisan pada Sabtu siang, dan tak bisa mengeluh lagi ketika akhirnya saya mulai mengirim tulisan tiap Sabtu malam. Akhirnya ia menetapkan deadline untuk saya: Sabtu, pukul sepuluh malam. “Oke, Dab,” kata saya.
Namun, sering juga ia harus bertahan di kantor hingga pukul satu dinihari hanya untuk menunggu tulisan saya.
Sepuluh tahun setelah kolom pertama, saya masih menulis untuk Ruang Putih, sampai Arief jatuh sakit; ia koma beberapa hari di rumah sakit. Redaktur lain menggantikannya mengurusi kolom saya. Tetapi saya tidak memiliki kegembiraan lagi; setiap Sabtu saya menulis dengan rasa sedih karena Arief tidak menguber-uber saya lagi. Setiap Sabtu, ketika menulis kolom, saya teringat begitu saja bahwa ia sedang sakit.
Akhirnya saya menelepon redaktur penggantinya, beberapa bulan lalu, mengucapkan terima kasih, dan menyampaikan bahwa saya berhenti saja menulis kolom.
Saya menelepon Arief setelah membuat keputusan itu. Istrinya yang menerima telepon saya; hari itu Arief masuk rumah sakit lagi.
“Padahal kemarin tidak ada masalah, Mas,” kata istrinya.
Hari ini, Rabu, 13 November 2019, setelah kabar dari Butet tentang Djaduk dan telepon dari Adi Wicaksono tentang Arief, saya melihat ada pesan masuk dari nomer ponsel Arief Santosa: “Assalamualaikum, telah berpulang suami saya Arief Santosa Legowo hari Rabu, jam 12.55….”
Dua kawan baik pergi dalam satu hari. Jujur saja, saya tidak bisa legowo. Tetapi, tidak peduli bisa legowo atau tidak, saya tetap harus mengucapkan selamat jalan kepada mereka: Djaduk, Arief, saya sedih kehilangan kalian, dan satu-satunya cara menggembirakan diri sendiri adalah mengenang hal-hal terbaik tentang kalian. Salam.
*A.S. Laksana, penulis, mantan wartawan Tabloid DeTIK, sekarang tinggal di Lampung.