Disrupsi Dunia Pesantren
Peradaban baru selalu bermula dari peristiwa besar. Perang, bencana, dan wabah. Lantas seperti apa peradaban baru yang diakibatkan wabah virus Corona ini?
Lantas bagaimana nasib lembaga-lembaga yang sudah berkembang selama ini? Inilah tantangan yang sedang dihadapi banyak orang sekarang.
Tak terkecuali dunia pendidikan. Tak terkecuali pondok pesantren yang selama ini menjadi ujung tombak pengembangan ilmu agama Islam. Tempat mendidikan karakter anak sejak sebelum jaman kemerdekaan.
Kegalauan itu sempat menghinggapi KH Muwafiq. Kiai nyentrik yang dikenal sebagai mubaligh ulung. Yang selalu berpenampilan khas dengan rambut gondrongnya.
Ia sendiri sedang mempersiapkan pengembangan pondok pesantrennya. Di Jogjakarta. Yang akan menjadi tempat kiai itu menerima tamu dari berbagai kalangan. Dari berbagai ragam golongan.
Bahkan ia merancang pondok barunya bisa menjadi tempat perlindungan sosial. Perlindungan bagi korban-korban persekusi akibat gesekan paham keagamaan yang marak selama ini.
Muwafiq yang asli Lamongan ini bukan kiai biasa. Ia sempat memperdalam ilmu agamanya di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Yang sekarang berganti nama menjadi UIN.
Ia juga aktifis. Yang ikut bergerak di saat reformasi politik tahun 1998. Bersama para mahasiswa lainnya. Juga menjadi aktifis Gusdurian. Sejak masih mahasiswa hingga sekarang. Malah pernah menjadi asisten pribadi Gus Dur.
Sebagai aktifis mahasiswa, Muwafiq tidak saja dikenal sebagai aktifis biasa. Tapi juga punya ilmu kependekaran. Sehingga jadi rujukan aktifis mahasiswa lainnya dalam hal kanuragan --semacam ilmu bela diri.
"Dulu waktu mahasiswa badan saya kecil. Kerempeng. Tidak seperti sekarang," katanya saat tengah malam berburu gudeg enak di Jogja.
Sekarang badannya tinggi besar. Kekar seperti Werkudoro alias Brotoseno dalam jagat pewayangan. Satria Pandawa dengan tubuh besar dan digdaya.
Muwafiq punya kebiasaan pakai sarung putih dengan kaos oblong warna yang sama. Bahkan saat naik pesawat di kelas bisnis sekalipun. Sederhana penampilannya.
Kembali ke rencana pendirian pondok pesantrennya.
Ia sudah mulai membebaskan lahan di Minggiran Sleman. Dia bercita-cita bisa membuat pesantren di atas lahan yang luas. Kini baru terlaksana pembebasan 5 hektaran.
Lokasinya sangat indah. Di selatannya ada bukit. Di utara tampak pemandangan langsung Gunung Merapi. Yang ketika terang tampak mempesona sekali.
Kanan kirinya masih sawah. Entah sampai kapan. Sebab, daerah ini tergolong wilayah Sleman yang berkembang cepat. Apalagi kalau kelak jalan tol Solo-Jogja selesai.
Pondok pesantren itu kelak juga bisa menjadi ladang pendidikan alam. Sehingga para santri lebih riil belajar kehidupan. Termasuk belajar dunia pertanian.
Tapi ia sempat gelisah setelah pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir setahun. Akankah pondok pesantren bisa berkembang seperti sekarang? Di era revolusi digital yang dipercepat dengan adanya pandemi.
Jelas tantangan masa depan akan sangat berbeda dengan sebelum pandemi terjadi. Peradaban yang didominasi oleh interaksi non fisik antar manusia. Dengan lebih mengandalkan teknologi informasi.
Padahal, pondok pesantren kekuatannya di hubungan fisik antara santri dan kiai. Hubungan emosional antar guru dan murid. Tidak hanya transfer ilmu pengetahuan, tapi juga transfer nilai-nilai keagamaan.
Dengan basis relasi komunal itu terjadi penularan karakter. Juga teladan sehari-hari tentang kehidupan beragama secara praktis. Sekaligus pembentukan akhlak atau budi pekerti anak didik.
Nah, apakah di era digital yang relasi antar manusia tidak secara fisik, hal itu masih bisa dilakukan? Lantas bagaimana mengenalkan santri dengan dunia digital? Sementara masih banyak pesantren yang melarang santrinya membawa gadget selama di pondok.
Berbagai persoalan itu yang harus dihadapi dunia pesantren di era disrupsi ini. Era ketidakmenentuan akibat revolusi teknologi informasi yang dipercepat dengan datangnya pandemi Covid-19 di seluruh dunia.
Muwafiq, kiai yang punya kekuatan narasi dan public speaking yang handal saja harus merumuskan kembali format pembelajaran di pesantren. Rasanya memang diperlukan redesign model pendidikan pondok pesantren yang kekinian.
Yang tak lekang dengan hadirnya peradaban baru. Peradaban relasi non fisik antar manusia tanpa batas. Peradaban yang diwarnai pertarungan informasi yang berdampak amat luas. Tak hanya lingkup lokal tapi juga global.
Advertisement