Diskusi Publik Yayasan Tifa, DPR Didorong Sahkan RUU PDP
Setelah melalui lima masa sidang DPR, hingga hari ini RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum berhasil disahkan sebagai Undang-undang. Keberadaan UU mengenai data pribadi merupakan pilar penting di dalam mewujudkan transformasi dan ekosistem digital. Sejumlah pemangku kepentingan pun mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU PDP.
Keinginan itu muncul dalam diskusi publik di antara berbagai pemangku kepentingan yang diadakan Yayasan Tifa pada Rabu 30 Maret 2022. Terdapat dua temuan utama di dalam policy brief Yayasan Tifa yang diluncurkan dalam diskusi publik tersebut.
Pertama, pengaturan dan implementasi RUU PDP yang selaras dengan standar internasional serta kebutuhan lokal. Kedua, pentingnya koordinasi antara otoritas PDP yang independen dan tunggal dengan beragam pemangku kepentingan di dalam mengatur dan mengimplementasikan regulasi PDP.
Shita Laksmi, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa menekankan, “Indonesia harus melihat secara jangka panjang pentingnya konten UU PDP dan implementasinya yang baik untuk melindungi data pribadi masyarakat dan menopang pertumbuhan transformasi digital di negara ini,” dikutip dari keterangan tertulis Yayasan Tifa, Rabu 30 Maret 2022.
Untuk itu, pemerintah dan DPR harus bersedia membangun jembatan diskusi guna menemukan jalan keluar yang terbaik untuk mengesahkan RUU PDP.
Peran organisasi masyarakat sipil, akademisi, pelaku inovasi dan ekonomi digital global dan lokal di negara ini juga penting untuk dilibatkan. Tifa melihat peran otoritas PDP yang tunggal dan independen sangat krusial sebagai prasyarat untuk dapat mengimplementasikan UU PDP kelak.
Pada kesempatan yang sama, Josua Sitompul, Koordinator Hukum dan Kerjasama Kemenkominfo, menyatakan, perlunya kesediaan K/L terkait dan beragam kelompok untuk bersama menyelaraskan praktik dan regulasi terkait penggunaan data pribadi yang telah berlangsung sedari dulu.
Terlebih lagi, di dalam membahas aspek-aspek sensitif terkait kewenangan institusional berbagai pihak serta beragam standar dan aturan terkait PDP.
Selain itu, seperti diutarakan oleh Goldy Dharmawan, Research and Policy Analyst Kemendikbud Ristek, UU PDP juga kompleks karena melibatkan aspek interoperabilitas sistem tata kelola data yang telah ada dan selama ini tidak terhubung satu dengan yang lain, seperti data pokok pendidikan dan data DirDikti.
Sementara itu, Daniel Oscar Baskoro, Chief Operational Officer Digital Transformation Office (DTO). Kementerian Kesehatan, menegaskan bahwa keberadaan UU PDP sangat penting untuk mendukung kerja layanan Kementerian Kesehatan, karena undang-undang memberikan dasar hukum untuk melindungi masyarakat sebagai pemilik data pribadi dalam mengakses layanan kesehatan.
Terlebih dengan pesatnya inovasi layanan kesehatan, Oscar berharap jangan sampai ketiadaan undang-undang ini menghambat kemajuan pelayanan kesehatan.
Lebih jauh, Oscar menegaskan pengelolaan data pribadi dalam konteks pandemi seperti melalui aplikasi peduli lindungi sepenuhnya berusaha mematuhi standar-standar internasional yang ada karena absennya undang-undang di tingkat nasional.
Para panelis webinar memberikan dukungan pentingnya penetapan UU PDP segera. Dalam konteks ini seperti disampaikan Karissa Sjawaldy dari Meta Indonesia, pembahasan RUU PDP ini perlu meskipun terkait dengan pengaturan yang kompleks, namun perlu dikomunikasikan dengan lebih sederhana sehingga lebih banyak masyarakat umum dan publik yang terlibat dan semakin mengerti urgensi pelindungan data pribadi ini.
Lebih lanjut lagi, Yayasan Tifa mencatat beberapa isu kunci yang harus diselesaikan di draft RUU PDP, yaitu perlunya RUU PDP mengatur pemrosesan data pribadi untuk kepentingan publik serta mengatur semua basis hukum pemrosesan data pribadi secara setara, bukan hanya menitikberatkan kepada basis hukum persetujuan (consent).
Advertisement