PRD Korban Stigma PKI yang Tak Pernah Henti
Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Rakyat Demokratik (PRD) ke-23 tahun, yang diselenggarakan di Surabaya, Senin 22 Juli 2019, mendapat kecaman bahkan sampai pembubaran paksa. Pembubaran ini dilakukan oleh puluhan orang yang tergabung dari beberapa ormas.
Ormas-ormas yang melakukan pembubaran itu diduga dari Front Pembela Islam (FPI), Laskar Pembela Islam (LPI) Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (Hipakad), dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia (FKPPI).
Wali Laskar Pembela Islam (LPI) Surabaya Agus Fachrudin mengatakan pihaknya dengan tegas mengecam diskusi HUT PRD tersebut. Menurutnya, secara kelembagaan PRD pun telah dilarang sejak 1997. Bahkan ia menganggap, bahwa PRD itu identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“AD/ART-nya mirip dengan PKI. Itu sudah nggak bener, makanya tahun 97 dibubarkan oleh pemerintah," kata Agus
Namun tuduhan komunis dan PKI yang dilontarkan kepada PRD ditolak mentah-mentah oleh aktivis PRD. Bahkan mereka menyebut abhwa kelompok-kelompok yang menuduh PRD adalah PKI merupakan kelompok-kelompok yang tak tahu tentang sejarah PRD.
“Isu-isu komiunsme selalu dibangkitkan menjelang bulan September untuk mengacaukan ketenangan masyarakat. Isu itu terus diproduksi terus agar masyarakat percaya bahwa komunis dan PKI masih ada dan masih eksis,”ujar salah satu aktivis PRD Surabaya yang tak mau disebutkan namanya.
Lalu bagaimana sebenarnya PRD itu? Apakah benar turunan dari PKI?
Menurut mantan aktivis dan pengurus PRD Surabaya, Dandik Katjasungkana, PRD berawal dari gerakan mahasiswa yang menginginkan adanya demokrasi yang jelas saat zaman Orde Baru pimpinan Soeharto. Gerakan yang dimotori oleh ratusan mahasiwa di kampus-kampus di Indonesia itu, melakukan rangkaian aktivitas kemahasiswaan seperti diskusi dan advokasi.
Gerakan mahasiswa di Surabaya yang saat itu getol disuarakan salah satunya advokasi kasus Marsinah. Selain itu, ada juga advokasi terkait penembakan petani di Nipah, Madura tahun 1993. Karena aktivitas-aktivitas itu, akhirnya gerakan mahasiswa menjadi bisa saling kenal dengan gerakan mahasiswa di kota lain.
Kenalnya para aktivis di berbagai kota di Indonesia itu kemudian menjadikan kekuatan gerakan mahasiwa semakin membara. Mereka bersatu melakukan aksi demo dan advokasi bersama di seluruh Indonesia, khususnya Jakarta.
Salah satu aksi demo yang dilakukan bersama adalah saat gerakan mahasiswa tersebut menolak program pemerintah Orde Baru yang melegalkan undian lotere. Namanya Sumbangan Dana Sosial Berhadiah atau lebih dikenal dengan SDSB. Dengan jumlah mahasiswa yang bisa dibilang masif, mereka menyelenggarakan aksi demo. Akhirnya, Pemerintah Soeharto mencabut dan meniadakan program tersebut.
Akhirnya pada kurun waktu 1993-1994, gerakan mahasiswa tersebut membentuk organisasi tingkat nasional bernama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi atau SMID. Pembentukan SMID juga tak terlepas adanya intrik politik di kalangan mahasiswa. Di pihak lain, kelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi seperti GMNI, HMI, PMII, PMKRI dan lain-lain, juga membentuk perkumpulan tingkat nasional yang sering disebut Kelompok Cipayung.
Berdirinya SMID itulah titik awal terbentuknya Partai Rakyat Demokratik. Sebelum berbentuk partai secara resmi, SMID sudah memiliki basis massa yang besar dan kuat. Bukan hanya berasal dari kalangan intelektual, namun juga dari kalangan buruh, petani, dan pekerja seni. Bahkan di tiga kalangan tersebut, SMID memiliki organisasi yang memayungi kegiatan dan aksi mereka.
Ini juga yang mungkin jadi salah satu alasan kenapa SMID atau PRD dianggap sebagai pengganti PKI. Penyebabnya struktur organisasi ini dianggap mirip PKI karena SMID memiliki underbow.
"Padahal kalau melihat, bukan hanya PRD yang memiliki basis underbow yang besar. Golkar pun yang saat itu menjadi kekuatan politik Orba juga memiliki organisasi, yayasan di berbagai sektor dan jelas di bawah payung Orba,” kata Dandi.
Tak lama setelah SMID terbentuk, akhirnya para organ di bawah SMID dalam sektor buruh, petani, dan pekerja seni tersebut sepakat untuk membentuk suatu organisasi utama yang juga turut dalam politik praktis bernama PRD.
Dandi mengatakan, selama PRD berdiri, partai tersebut selalu berada di garis depan oposisi Orde Baru. PRD acap kali menolak program-program pemerintah Orde Baru yang dinilai tidak pro rakyat. Bahkan mereka juga menolak instruksi pemerintah Orde Baru yang mengharuskan semua organisasi kemasyarakatan terutama parpol menggunakan azas tunggal Pancasila.
Bukan hanya PRD yang mencak-mencak, organisasi lain pun juga melakukan hal yang sama. Itu didasari karena setiap organisasi memiliki haluan azas yang berbeda pula. Sehingga apabila diharuskan menggunakan azas tunggal, akan mencederai khittah organisasi tersebut.
Instruksi itu akhirnya berlanjut, pada kurun waktu 1995-1997 akhirnya organisasi lain mengikuti imbauan Orba tersebut, kecuali PRD. PRD dengan tegas tetap menolak perintah Orba untuk menggunakan azas tunggal organisasi.
Puncaknya saat ada kerusuhan 27 Juli 1996, atau sering dikenal dengan peristiwa Kuda Tuli. Kerusuhan terjadi karena adanya pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat, yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan).
Peristiwa ini terus meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Kerusuhan tersebut, hingga saat ini dianggap masih dilatar belakangi oleh keinginan Soeharto untuk merekayasa Kongres PDI di Medan dan ingin mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.
Selepas adanya kerusuhan tersebut, tanpa dasar dan bukti yang kuat, Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Para ‘pesuruh’ Soeharto kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko yang saat itu menjadi pentolan PRD, mendapat hukuman paling berat daripada kawan-kawan lainnya, yakni 13 tahun penjara.
Atas dasar penolakan menggunakan azas tunggal itulah akhirnya Pemerintah Soeharto pada hari selasa, 30 September 1997, resmi membubarkan sekaligus melarang Partai Rakyat Demokratik (PRD) serta seluruh organisasi yang bernaung di bawahnya. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 210-221 Tahun 1997 tentang Pembubaran dan Pelarangan Organisasi Partai Rakyat Demokratik.
Sejak saat itulah aktivis PRD dianggap sebagai aktivis ‘kiri’ dan harus ditangkap, serta dijebloskan ke tahanan.
Aktivis PRD ditangkap, disiksa dan dijeblokasn ke tahanan oleh tentara Orba. Mereka menuding PRD sebagai otak kerusuhan peristiwa kudatuli. Tak hanya itu, Orba juga memberi stigma kepada PRD sebagai reikarnasi dari PKI.
Selepas reformasi 1998, PRD akhirnya mengajukan gugaan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) terkait keputusan Orba yang melarang PRD. Pengajukan PRD diterima dan dikabulkan oleh PTUN. Akhirnya PRD bisa kembali menjadi organisasi yang sah di mata hukum dan berhak untuk mengikuti Pemilu pertama tahun 1999 pasca reformasi.
Namun, meskipun PRD sudah disahkan kembali sebagai organisasi yang sah menurut hukum, hingga kini, stigma bahwa PRD merupakan reikarnasi dari PKI masih saja ada. Padahal tuduhan Orba terkait itu tidak pernah terbukti dan selalu terbantahkan.
Dasar hukum dan dasar politik PRD tidak ada sama sekali terikat dengan PKI ataupun komunisme. Penyebaran paham komunisme juga tak pernah ada. "Dari dulu yang kami kampanyekan adalah ya refleksi dari sila ke 5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Mana komunisnya? Mana PKI nya,” kata Dandik.
Maka dari itu, Dandik heran dengan kelompok masyarakat yang sekonyong-konyong menuduh PRD merupakan salah satu kebangkitan PKI ataupun paham komunisme. Ia juga sempat bertanya-tanya, apakah kelompok tersebut tak pernah tahu adanya putusan PTUN yang kembali mengesahkan PRD sebagai organisasi resmi yang sah secara hukum.
Meski kini banyak mantan aktivis dan politisi PRD yang akhirnya menyeberang ke partai lain, bukan berarti PRD merupakan organisasi ataupun partai yang terlarang.
“Mereka pindah itu karena hitung-hitungan politik kan, bukan karena PRD dilarang atau seperti apa. Kondisi politik dan karir politik yang membuat beberapa aktivis PRD menyebrang ke partai lain,” pungkasnya.