Diskusi dan Nonton Bareng Film Kadet 1947
Menyambut Kesempatan
Bermula dari sebuah kabar tak terduga yang diperoleh koordinator program kegiatan Perlima, Windy Effendy, perihal keberadaan tim produksi film Kadet 1947 di Surabaya, segenap pengurus Perempuan Penulis Padma kemudian menyambut kesempatan untuk menghelat acara nonton bareng di studio XXI Tunjungan Plaza 1.
Setelah melalui persiapan yang terbilang singkat tetapi matang, kegiatan nonton bareng yang dilangsungkan pada Jumat, 17 Desember 2021, pukul 16.30 WIB itu menjadi nobar istimewa. Acara nonton bareng ini disertai dengan diskusi seru perihal seluk beluk film Kadet 1947 bersama Rahabi Mandra, salah satu sutradara sekaligus penulis skenario, dan Tesadesrada Ryza selaku produser dan wakil dari pihak Temata.
Kadet 1947
Film dengan genre laga berlatar tahun 1947 yang disutradarai oleh Rahabi Mandra dan Aldo Swastia ini membingkai memori perjuangan para pelajar sekolah penerbang Angkatan Udara–yang disebut kadet, untuk mempertahankan Maguwo dari Agresi Militer Belanda. Drama perang yang juga menyuguhkan intrik persahabatan dan cinta secara proporsional ini telah memenangi penghargaan JAFF Indonesian Screen Awards 2021 pada kategori film terbaik dan sutradara terbaik.
Para peserta nobar sepakat mengatakan bahwa film Kadet 1947 merupakan film sejarah yang wajib ditonton oleh setiap orang yang mengaku dirinya Indonesia karena mampu membangkitkan gelora semangat perjuangan dan cinta kepada tanah air. Dengan kata lain, film ini sendiri merupakan sejarah baru dalam perfilman Indonesia di mana sebuah sejarah bangsa dikemas dan disuguhkan dengan cara yang baru. Kadet 1947 membuat kita dapat menikmati film sejarah tanpa perlu lagi mengasosiasikannya dengan film dokumenter yang membosankan.
Sesi Diskusi dan Tanya Jawab
Tercatat ada tiga puluh peserta yang hadir. Diawali dengan sambutan ketua Perlima, Tjahjani R. Wilis, mengucapkan selamat atas suksesnya film yang telah tayang serentak di seluruh Indonesia pada 25 November 2021 kemarin. Wilis juga menyampaikan bahwa scene yang menghadirkan Jendral Sudirman merupakan elemen kejutan yang membuatnya takjub.
“Film ini wajib ditonton oleh anak-anak kita. Dulu di masa saya, kami wajib menonton sejarah kelam setiap September. Sekarang film inilah yang wajib tonton. Film yang mengharukan. Mengumandangkan kata merdeka yang menggugah semangat kebangsaan,” tambah Evi Suryani.
“Sebagai pecinta film perang, Kadet 1947 mampu menyuguhkan adegan heroik yang memacu adrenalin, sisi romantisme, dan adegan lucu yang lengkap. Salut. Saya juga yakin risetnya nggak gampang karena jarang yang mengambil setting Angkatan Udara di Indonesia,” kata Agung Sapto Utomo.
“Di luar dugaan, Kadet 1947 membuat saya bangga bahwa ternyata Indonesia bisa bikin film perang dengan efek CGI yang bagus,” puji Erick.
Menanggapi semua yang disampaikan oleh peserta diskusi, Tesadesrada Ryza yang juga merupakan pendiri rumah produksi Telinga Mata Nusantara (Temata) menyampaikan bahwa dalam proses produksinya, film yang mengangkat kisah tujuh orang kadet ini sempat mengalami stop produksi karena terkendala pandemi yang panjang. Dengan sebuah ujar tekad: "Kalau mau bikin sejarah harus bayar harga”; maka film ini pun dirampungkan. “Bahkan proses produksinya bisa jadi satu film sendiri dengan segala tantangan yang kami hadapi,” candanya.
“Memang banyak yang kurang, tapi semua sudah melalui proses antisipasi. Memang belum sempurna, kami tahu itu. Namun, kami tidak menyesal karena Kadet 1947 merupakan hal terbaik yang telah kami upayakan,” tutur Rahabi Mandra yang pada 2017 juga pernah memenangkan penghargaan Festival Film Indonesia pada kategori Penulis Skenario Adaptasi Terbaik.
Kegelisahan yang Ditularkan
“Sigit, Mul, Har, Adji, Kapoet, Dul, dan Tardjo. Tujuh orang itu berusia relatif muda, sekitar dua puluhan tahun. Adi Sucipto pada usia 31 tahun sudah menjadi kepala sekolah Maguwo, Jendral Sudirman sudah menjadi panglima besar di usia 34 tahun. Semuanya masih muda dan memiliki peran besar untuk Indonesia. Trus gua ngapain aja?” tutur Rahabi Mandra kepada semua peserta saat menjawab pertanyaan Stebby Julionatan tentang kegelisahan personal yang memotivasi dirampungkannya film Kadet 1947.
Kegelisahan itu otomatis menular kepada semuanya, menjadi pekerjaan rumah yang mau tak mau harus dijawab oleh kita yang mengaku cinta Indonesia. Pertanyaan yang sudah sewajarnya terus menggema di telinga kita, semua generasi bangsa ini, hingga benar-benar bisa menjawabnya dengan tindakan nyata: “Apa yang sudah kulakukan untuk Indonesia tercinta?”
Merdeka!
Dewi Purboratih (Koordinator Divisi Kreatif Perlima)