Diskursus Agama dan Pancasila Kehilangan Wibawa, Kata Komarudin
Komaruddin Hidayat, Cendekiawan Muslim mengatakan, wacana tentang Pancasila dan agama kini telah kehilangan wibawa.
"Karena telah menjadi instrumen politik, birokrasi dan ideologi serta bisnis kekuasaan," tutur mantan Rektor UIN Jakarta.
Menurutnya, kata bermula dari perasaan dan pikiran, lalu terucap dan sebagian tertuliskan. Selanjutnya, kata bisa berdiri otonom, lepas dari pencetus awalnya, tak lagi mengandung makna dan gagasan sebagaimana dikehendaki awal kelahirannya. Yang demikian ini bisa terjadi pada wacana keagamaan dan Pancasila.
"Agama dan Pancasila tampil dalam akrobat kata tanpa ruh yang memancarkan bimbingan budi," tutur Komarudin Hidayat, dikutip Ngopibareng.id, Kamis 20 Februari 2020.
Pancasila sebagai nilai dan pedoman perilaku tempatnya di hati sanubari. Bukan dalam disket otak atau lembaran-lembaran kertas. Yang menggerakkan pikiran dan perilaku agar seseorang menempuh jalan mulia itu bimbingan dan kekuatan hati. Bukan oleh akrobat dan retorika kata yang kemudian disebarkan lewat pidato dan media massa. Bangsa ini kaya dengan budaya verbalisme dan upacara.
Dulu ketika zaman orde baru, sejak dari Presiden sampai Ketua RT kalau pidato mesti mengucapkan Pancasila. Ada semacam konsensus tidak tertulis waktu itu, untuk menunjukkan dirinya Pancasilais, seorang tokoh ketika pidato mesti menyampaikan statamen dukungan terhadap Pancasila.
Saat ini yang lebih dibutuhkan adalah pelaksanaan Pancasila yang dielaborasi sebagai panduan dan alat evaluasi kinerja pimpinan dan institusi, apakah mereka sudah sejalan dengan Pancasila ataukah belum.
"Kemudian, tak kalah pentingnya adalah ketauladanan para elite pemerintah dan parpol agar menjadi contoh dan panutan masyarakat dalam melaksanakan Pancasila. Jadi, yang penting itu contoh riil yang bisa ditiru dan menginspirasi masyarakat, bukannya perdebatan konseptual yang mengundang polemik," kata Komarudin, dalam renungannya di jabartoday.
Karakter itu menginspirasi, menggerakkan dan akan ditiru banyak orang, sedangkan konsep itu menghasilkan diskusi dan perdebatan. Karakter berakar pada niat dan tekad mulia yang yang digerakkan oleh hati nurani, perdebatan itu olah pikir dan emosi untuk mencari kalah-menang.
Pancasila berangkat dari kesadaran dan komitmen kebertuhanan yang menghasilkan pribadi yang peduli pada problem kemanusiaan, bermuara pada agenda menciptakan kesejahteraan yang adil bagi rakyat Indonesia.
Caranya? Melalui permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Dengan demikian, pemahaman, kesadaran dan pelaksanaan Pancasila itu bersifat built in dan embedded pada setiap departemen pemerintah. Lebih khusus lagi pada Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Dalam Negeri.
Mereka punya porsi besar yang berurusan langsung dalam pembinaan masyarakat. Agenda pembinaan Pancasila itu pemerintah mesti menjalin kemitraan dengan ormas dan parpol dalam posisi sejajar, tanpa merasa lebih tinggi. Parpol yang tidak menerapkan azas permusyarawatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, berarti tidak Pancasilais.
Lebih parah lagi kalau parpol itu tidak punya agenda kongkrit untuk menyejahterakan rakyat secara adil. Kalau itu yang terjadi, maka musuh Pancasila yang pertama adalah para elit pemerintah yang korup, tidak punya peduli kemanusiaan, dan tidak punya prestasi dalam menyejahterakan rakyat, pada hal mereka memperoleh fasilitas negara. Yang kedua para elit parpol yang selalu berbicara untuk memperjuangkan rakyat, tetapi benarkah nurani mereka berpihak pada rakyat?.
Ibarat jualan, siapapun yang berbicara atas nama Pancasila jangan sampai membuat sentimen pasar malah turun, atau bahkan anti, sehingga Pancasila hanya menjadi mainan politik belaka dengan ongkos yang mahal.