Di sini Bangkodir. Tugasnya Berat, Hadang Bordir Murah dari China
Kota Madiun punya jargon menggelitik. Kota ini menyebut dirinya Kota Gadis. Dipampang besar-besar. Ada di baliho. Di bando-bando kota, dan seterusnya. Karena menggelitik, sampai sekarang tak sedikit yang bertanya. Kota Gadis? Maksudnya apa itu? Kota banyak gadisnya? Gadis beneran apa gadis-gadisan?
Buat yang awam Madiun, nyinyir pun tak jarang terjadi. Bikin jargon kok Kota Gadis sih! Apa mereka ini akan jadi seperti gang Ndolly tempoe doeloe? Menjajakan para gadis, begitu kah? Atau karena banyak gadis yang tak laku kawin?
Padahal tak begitu lho maksudnya. Kota Gadis itu hanya akronim. Kota Gadis itu tak lain adalah Kota Perdagangan dan Industri. Oh begitu! Rata-rata begitu responnya. Tak sebanding dengan rasa penasaran yang menggelora di dalam perasaan.
Ada Madiun ada juga Bangil. Mereka tak berdekatan. Mereka berjauhan. Terpisahkan dalam jarak hingga 5-6 kabupaten/kota. Kalau ditempuh dari Madiun: adalah Barat menuju keTimur.
Madiun berdiri sendiri, sementara Bangil tidak. Bangil menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Pasuruan. Dia hanya berupa wilayah kecamatan.
Meski besaran wilayah tak sama, semua serba tak sama secara pemerintahan, namun keduanya memiliki imajinasi marketing yang tak jauh berbeda. Malah boleh dikata, gaya “jual dirinya” serupa benar. Menciptakan market dengan memain-mainkan asumsi orang lebih dulu. Dan itu tak salah. Perekonomian harus bertumbuh.
Bangil membranding dirinya dengan Bangkodir. Bukan Bang Toyib lho ya. Kalau Bang Toyib adalah bentuk kenakalan lirik lagu. Secara kebetulan, begitu dilagukan, menjadi sebuah aransemen yang menggelitik. Lalu disuka dan menjadi hits di tangga lagu-lagu Indonesia.
Bangkodir tentu saja tak sama dengan Bang Toyib. Bangkodir ini akronim juga. Tak lain adalah Bangil Kota Bordir. Sejumlah data menyebut, banyak usaha kecil menengah (UKM) bertumbuh dengan kain bordir. Sementara pekerjanya nyaris seratus persen adalah para perempuan. Mereka umumnya para gadis, tetapi lebih banyak yang sudah bukan gadis. Artinya, sudah menikah.
Sejatinya, yang cukup layak menyandang Kota Gadis ya Bangil. Karena banyak mempekerjakan perempuan di sektor perekonomian. Tetapi mereka lebih memilih Bangkodir, yang kalau dirasakan lebih maskulin sebenarnya. Dan faktanya, hanya sedikit kaum lelaki yang terlibat dalam industri kain bordir.
Bangkodir? Begini ceritanya.
Dunia bordir membordir memang sangat terkenal di Kota Kecamatan bernama Bangil. Konon, bordir Bangil malah sudah terkenal sejak Indonesia belum merdeka. Karena sejak lama menjadi ikon, Bangil tak segan menyebut dirinya Bangkodir.
Keren. Maskulin. Membawa warna untuk besutan bordirnya. Bangkodir tak lain adalah Bangil Kota Bordir. Saking terkenalnya Bangkodir, tak banyak orang menyadari bahwa sesungguhnya Bangil bukan wilayah administratif tersendiri melainkan bagian dari Kabupaten Pasuruan.
Saat ini, jumlah pengusaha bordir di Bangil tak kurang dari 120 orang. Mereka juga mendirikan sebuah asosiasi yang diberi nama Aspendir. Asosiasi Pengusaha Bordir.
Para anggota asosiasi bordir itu terkonsentrasi di Desa Beji, Rembang, Pandaan, Gondangwetan, Lumbang, dan Kejayan. Berdirinya asosiasi ini dipandang sebagai langkah efektif untuk melawan tekanan produk-produk bordir Cina yang membanjiri pasaran dalam negeri.
Menghadapi persaingan yang begitu ketat, para pembordir Bangil harus memutar otak. Juga bekerja makin keras untuk menghasilkan karya bordir yang berkualitas.
Bukan mustahil, jika jurus ini dilancarkan secara masif, minimal mampu membendung bordir China yang mengunakan teknologi komputer dan dengan harga yang relatif murah.
Jurus lain yang diterapkan adalah membordir apa saja yang memungkinkan bisa dipercantik dengan aksen bordir. Jadi tidak hanya terbatas pada busana dan mukena, tetapi juga aneka asesoris perlengkapan rumah tangga seperti penghias toples, tutup saji, tutup gelas, tutup galon air minum, taplak meja, sprei, tempat tisue, sepatu wanita, dll.
Selain meningkatkan kualitas produksi, target pemasaran juga diperlebar guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang luas. Selain membidik segmen menengah atas melalui departemen store, pasar-pasar tradisional juga perlu diperhitungkan.
Option-nya adalah, bordir bukan hanya bisa dipakai oleh kalangan berada tetapi masyarakat bawah pun bisa menikmati indahnya bordir untuk busana mereka.
Menurut salah seorang pengusaha bordir, Hj Faiz, pemilik Fat Bordir, saat ini hanya wilayah Papua saja yang memungkinkan untuk diserbu kerajinan bordir Bangil.
Kata dia, serbuan produk China dan Hongkong sungguh merepotkan. Membuat ketir-ketir semua pelaku bordir di Bangil. Sebab, bagi yang tidak kuat bertahan, pasti akan kena libas. Untuk itu peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyokong keberlangsungan hidup perajin bordir.
Dikatakan Hj Faiz, meski saat ini Fat Bordir harus terus mengurangi jumlah pekerja, dia tetap melihat peluang dari serbuan produk murah asal china itu. Untuk bertarung diurutan harga, UKM bordir jelas keok. Tak bakal menang.
Maka pilihan yang diambil adalah memproduksi bordir dengan kualitas di atas produk china. Namun tentu saja dengan harga yang terjangkau. Sebab, menurutnya, produk China yang dilempar ke pasar bebas rata-rata berkualitas sedang-sedang saja. Banyak jelek. Celakanya masyarakat banyak suka.
Kenapa bisa suka? Karena bordir dicitrakan mahal. Kenapa mahal? Karena bahan bakunya sudah mahal. Lalu kenapa Cina bisa jual murah? Entahlah! Biar Bangkodir menjawab dengan caranya sendiri. widikamidi