Disertasi Seks Bebas di UIN Jogjakarta Menuai Kontroversi
Jagat pemikiran islam di Indonesia menghangat. Hasil ujian disertasi berjudul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” bikin geger. Disertasi itu, karya mahasiswa program doktor di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta.
Dalam disertasinya, Abdul Aziz menulis tentang hubungan seks di luar nikah tak melanggar syariat Islam. Disertasi dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam (IAIN) Surakarta itu mengangkat konsep milkul yamin Muhammad Syahrur, seorang intelektual muslim asal Suriah.
Berikut ngopibareng.id menghadirkan catatan secara bersambung terkait hal itu, ditulis Ikhsan Mahmudi:
Ada pepatah Arab, khalif tu’raf (berbuatlah aneh, kau akan dikenal). Lebih ekstrem lagi, pepatah Arab lama, bul ma a zamzam fatayshur (kencingilah air zamzam kamu akan terkenal).
Tiba ada kehebohan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 28 Agustus 2019 lalu. Apakah ada “orang aneh” atau “orang kencing di sumur” kampus tersebut?
Yang jelas, hari itu, Abdul Aziz sedang menghadapi ujian disertasi berjudul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital”. Kesimpulan disertasi yang diuji di depan tim penguji, memantik kontroversi.
Petikan abstrasi, “Penelitian ini berkesimpulan bahwa konsep milk al yamin Muhammad Syahrur merupakan sebuah teori baru yang dapat dijadikan sebagai justifikasi terhadap keabsahan hubungan seksual nonmarital. Dengan teori ini, maka hubungan seksual nonmarital adalah sah menurut syariah sebagaimana sahnya hubungan seksual marital. Dengan demikian, konsep ini menawarkan akses hubungan seksual yang lebih luas dibanding konsep milk al yamin tradisionalis.”
Publik pun heboh menanggapi disertasi tersebut. Apalagi sebagian publik hanya sebatas mengetahui isi disertasi itu melalui media arus utama, sebagian lagi melalui media sosial.
Sejumlah judul berseliweran, “Seks Tanpa Nikah Tak Langgar Syariat”, juga “Disertasi: Hukum Islam Lindungan Seks di Luar Nikah”.
Kritikan, kecaman, hingga kutukan berhamburan dialamatkan kepada Abdul Aziz, penulis disertasi. Sebagian lagi “membantai” Muhammad Syahrur, yang pemikirannya dikupas dalam disertasi itu.
Tim penguji pun ikut “kebakaran jenggot” sehingga perlu menggelar konferensi pers, dua hari kemudian, tepatnya, 30 Agustus 2019 lalu. Tim penguji merasa perlu melakukan konferensi pers untuk mengklarifikasi.
Pada siaran perfs yang tersebar di medsos, ternyata para penguji keberatan dengan karya tulis tersebut. Sehingga ketua sidang, Prof. Yudian Wahyudi PhD, yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga memberikan saran.
“Dengan demikian draft disertasi yang diujikan tanggal 28 Agustus harus direvisi sesuai dengan kritik dan saran para penguji,” katanya.
Lazimnya, ujian promosi doktor atau ujian terbuka itu semacam seremonial akademik. Pasti lulus karena sebelum melakukan ujian promosi, seorang mahasiswa sudah menempuh empat kali ujian.
Diawali dengan ujian komprehensif lalu ujian proposal. Dilanjutkan ujian pendahuluan dan ujian tertutup. Maka, biasanya ketika ujian promosi doktor, surat keputusan (SK) kelulusan sudah dibuat. Tinggal dibacakan setelah prosesi ujian selesai. Diakhiri dengan makan-makan sebagai tasyakuran.
Dengan demikian, normalnya disertasi tersebut sudah melalui proses yang berliku. Maka ketika terjadi kegaduhan setelah ujian terbuka, publik menjadi bertanya, “seliberal itukah kultur akademik UIN Jogja?”
Hubungan seks di luar nikah (nonmarital), versi disertasi tersebut, dinilai sah secara syariah dengan memakai teori milk al yamin (kepemilikan budak perempuan). Itulah hasil kajian(disertasi) Abdul Aziz terhadap pemikiran Muhammad Syahrur, pemikir berkebangsaan Syiria.
Memang dalam Al Quran (Al Ahzab: 50, An Nur: 31 dan Al Mukminun : 5-6) dengan gamblang menjelaskan, seorang laki-laki boleh menggauli budak perempuannya. Tanpa akad nikah.
“Dan orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”
(Al Mukminun: 5-6)
Ketika hari ini tidak ada lagi budak dan perbudakan, Syahrur kemudian meluaskan kebolehan menggauli budak ini dengan jenis hubungan seksual yang tidak normal lainnya. Seperti nikah mut’ah, nikah muhalil, nikah misyar (kawin kontrak) bahkan samen leven (kumpul kebo).
“Pendapat ini aneh dan janggal. Hubungan teks dan konteks dibuat terbalik dan liar. Lazimnya teks, baik ayat al Quran atau Hadits Nabi saw itu membutuhkan konteks. Jika konteksnya tidak ada maka dalil tidak dapat dieksekusi,” kata Muh. Nursalim, Doktor Studi Islam, UIN Jogja.
Yang dilakukan Syahrur berbeda. Dalilnya, seorang laki-laki boleh menggauli budak perempuan yang dimiliki. (Al Mukminun: 6).
Karena hari ini tidak ada lagi budak, maka seorang laki-laki boleh menggauli perempuan bukan budak tanpa menikah. Cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan demikian kumpul kebopun sah secara syariah.
Itu “ijtihad” Syahrur yang diamini Abdul Aziz. Tanpa kritik yang berarti. Bahkan si penulis disertasi menyayangkan Syahrur yang hanya membuka pintu seks bebas hanya untuk laki-laki.
“Namun, ditinjau dari perspektif emansipatoris, ekstensitas akses seksual dalam konsep ini masih tampak timpang, karena hanya dapat dinikmati oleh laki-laki sementara bagi perempan cenderung stagnan,” kata Abdul Aziz saat ujian disertasi.
Terkait kontroversi disertasi Abdul Aziz, pihak UIN Sunan Kalijaga pun melakukan klarifikasi kepada wartawan (press release). Mulai empat penguji yakni, Dr Agus Moh. Najib SAg Mag, Prof. Dr Euis Nurlaelawati MA PhD, Dr Samsul Hadi SAg MAg, dan Alimatul Qibtiyah SAg MSi PhD mengritisi disertasi tersebut.
Bahkan, dua promotor,Prof. Dr Khoiruddin Nasution MA dan Dr Phil. Sahiron MA, yang seharusnya “membela”, ikut menyoroti disertasi Abdul Aziz.
Sementara Ketua Sidang, Prof. Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD memberi catatan, agar bisa diberlakukan, pemahaman Syahrur tentang milk al-yamin harus ditambah akad nikah, wali, saksi dan mahar.
Sebagai konsekuaensinya, kata-kata Syahrur: “ Jika masyarakat menerima”, kaya Yudian, maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak. “Dalam konteks Indonesia, dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disahkan menjadi Undang-undang,” katanya.
Tanpa proses ini pendapat Syahrur tidak dapat diberlakukan di Indonesia. “Dengan demikian, draf disertasi yang diujikan pada tanggal 28 Agustus harus direvisi sesuai dengan kritik dan saran para penguji,” tambah Rektor UIN Jogjakarta itu.
Bagaimana tanggapan MUI? Ternyata MUI bergerak cepat menyikapi disertai Abdul Aziz dengan mengeluarkan surat pernyataan, Rabu, 3 September 2019. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani Waketum MUI, Yunahar Ilyas dan Sekjen Anwar Abdul Abbas itu DPP MUI mengeluarkan sejumlah seruan.
Pertama, MUI menyatakan, pemikiran Syahrur yang dituangkan dalam disertai Abdul Aziz dinilai bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, kesepakatan (ijma’) ulama, dan termasuk pemikiran yang menyimpang.
Kedua, disertasi itu tidak sesuai diterapkan di Indonesia karena menganut seks bebas. Seks bebas dinilai bertentangan dengan ajaran agama, norma susila, UU 1/1974 tentang Perkawinan, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Ketiga, pemikiran Syahrur bisa merusak sendi kehidupan keluarga dan perkawinan. Keempat, kaum muslimin diminta tidak mengikuti anjuran seks di luar nikah. Terakhir, MUI menyayangkan para promotor dan penguji yang dinilai tidak peka.
Belakangan, Abdul Aziz pun membuat surat pernyataan (tertulis), Rabu, 3 September 2019. Intinya, ia bersedia mengubah disertasinya sesuai dengan catatan promotor dan penguji. (bersambung)
Advertisement