Ribut PPDB, Kadindik Jatim Klaim Pendaftar SKD Hanya 8 Persen
Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim, membantah tudingan masyarakat tentang dugaan kecurangan dalam penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di tahun 2020 ini, yakni melalui Surat Keterangan Domisili (SKD). Dindik menyebut hanya 8 persen pendaftar yang menggunakan SKD.
Kepala Dindik Jatim, Wahid Wahyudi mengatakan jika pengaduan tersebut muncul lantaran pendaftaran PPDB berlangsung secara daring lantaran pandemi covid-19 yang belum usai. Termasuk verifikasi berkas persyaratan PPDB. “Verifikasi secara manual belum bisa dilakukan,” kata Wahid, melalui siaran persnya, Sabtu, 27 Juni 2020.
Hal ini memunculkan asumsi di tengah masyarakat, yang menyebut jika ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh Dindik Jatim pada proses pemeriksaan berkas. Wahid mengaku pihaknya telah melakukan verifikasi dengan cermat sesuai perintah Gubernu Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.“Gubernur Jatim, Khofifah memerintahkan, untuk melakukan verifikasi secara teliti, terhadap setiap berkas persyaratan,” jelasnya.
Selain itu, Wahid pun membantah, jika ada informasi yang menyebut banyak orang tua memanipulasi data SKD agar anaknya bisa masuk SMA/SMK Negeri. Sebab menurut dia, pemeriksaan zonasi sebagian besar dilihat dari alamat Kartu Keluarga (KK).
“Dari seluruh calon peserta didik baru yang mendaftar, hanya 8 persen yang menggunakan SKD, sedangkan 92 persen lainnya menggunakan KK yang diterbitkan oleh Instansi yang berwenang,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Wahid juga menjanjikan, dirinya akan menindak secara tegas pelaku, jika memang benar ada masyarakat yang ketahuan melakukan pemalsuan SKD. “Terkait adanya indikasi pemalsuan data dalam dokumen kependudukan seperti SKD, Gubernur juga, memerintahkan agar dilakukan tindakan tegas sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata dia.
Tindakan tegas yang dimaksud ialah seperti pembatalan penerimaan siswa yang bersangkutan, hingga proses secara yang berlaku. Hal ini dilakukan, karena pelaku sudah menyalahi aturan yang ada.
“Jika terdapat bukti konkrit adanya pemalsuan dokumen persyaratan, tindakan tegas ini dapat berupa pembatalan status penerimaan calon peserta didik baru yang bersangkutan. Selain itu ada konsekuensi hukum lain sesuai dengan perundangan yang berlaku,” tutupnya.