Disabilitas Penerima Vaksin Janssen Teracam Gagal Mudik
Para disabilitas yang menerima Vaksin Janssen kesulitan dalam mengakses vaksin penguat atau booster. Hal ini karena ketidakpahaman vaksinator tentang informasi vaksin dosis tunggal alias hanya diberikan satu kali suntik.
Akibatnya, saat meminta vaksin dosis ketiga alias booster, petugas vaksin di lapangan selalu meminta bukti untuk vaksin dosis II. Di aplikasi Peduli Lindungi pun, mereka hanya dicatat menerima satu dosis saja.
Ketiadaan informasi tentang vaksin dosis II ini juga menyulitkan penerima vaksin Janssen saat akan mengakses transportasi publik yang mensyaratkan adanya sertifikat vaksin dosis I dan II.
Akibatnya, saat hendak pergi ke luar kota dengan pesawat, kereta api, atau kapal laut, mereka diwajibkan untuk tes antigen karena dianggap belum mendapat vaksin dosis II. Menurut mereka, perlakuan itu tak adil alias diskriminatif.
Peristiwa ini terjadi kepada penerima Vaksin Janssen dari beberapa komunitas di daerah yang menjadi penerima Vaksin Janssen, seperti di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat.
Koordinator Koalisi Akses Vaksin untuk Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, Hamid Abidin mengatakan, kasus-kasus semacam itu terjadi karena kurangnya sosialisasi mengenai Vaksin Janssen yang berbeda dari vaksin dua dosis umumnya.
Untuk itu, pemerintah perlu memberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat dalam vaksinasi bahwa penerima Vaksin Janssen berhak menerima booster.
"Apalagi vaksin booster saat ini menjadi persyaratan untuk mudik. Jangan sampai mereka gagal mudik karena ditolak saat akan melakukan vaksin booster," katanya.
Hamid menambahkan, Kementerian Kesehatan juga perlu mensosialisasikan kekhasan Vaksin Janssen dibanding vaksin-vaksin lain pada Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan di daerah, dan para pengelola transportasi pesawat, kereta, dan kapal laut yang mensyaratkan vaksinasi.
"Jangan sampai karena ketidaktahuan mereka, para penerima Vaksin Janssen terhambat dan terdiskriminasi pada saat mengakses transportasi publik, serta diharuskan menjalani tes antigen yang bisa jadi beban biaya tambahan bagi mereka," kata Hamid.
Koordinator tim vaksinasi disabilitas OHANA (Organisasi Harapan Nusantara), Nuning Suryatiningsih, mengatakan warga penerima Vaksin Janssen di Waingapu, Sumba, NTT, kesulitan bepergian karena hanya menerima satu dosis vaksin.
Mereka selalu ditanya tentang dosis II dan booster saat harus ke luar kota. Masalahnya, mereka akan diminta menunjukkan bukti telah mendapat vaksin II ketika mengajukan booster.
"Saat ingin mendapatkan vaksin dosis II dan menanyakan ke dinas kesehatan setempat, tapi tak ada jawaban menjadi solusi," kata Nuning.
Diinformasikan, Indonesia memiliki beberapa vaksin Covid-19 sekali suntik. Dua di antaranya adalah Vaksin Janssen dan Vaksin Convidecia. Vaksin Janssen banyak diberikan kepada masyarakat adat dan kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, serta warga di wilayah terpencil.
Pertimbangannya, vaksin ini efisien karena hanya perlu satu dosis sehingga mempermudah mereka dalam mengakses vaksinasi, tanpa perlu bolak-balik ke lokasi penyuntikan.
Menurut Nuning, vaksin sekali suntik menjadi tumpuan penyandang disabilitas karena mereka juga tak perlu dua kali ikut vaksin. Penyelenggara vaksinasi juga tak perlu dua kali menggelar vaksinasi.
Berdasar atas pengalaman di Bantul, Yogyakarta, pada Agustus tahun lalu, dibutuhkan persiapan panjang, tempat khusus, dan tenaga tambahan untuk menggelar vaksinasi bagi kalangan disabilitas.
"Butuh koordinasi banyak pihak untuk menggelar vaksinasi untuk kalangan disabilitas," kata Nuning.
Salah satunya sosialisasi khusus bagi penyandang disabilitas. Sebab, selama ini mereka kurang terpapar informasi yang jernih. Tempat vaksinasi juga harus mudah diakses bagi beragam penyandang disabilitas. Belum lagi, diperlukan tenaga penerjemah bahasa isyarat agar komunikasi antara vaksinator dan penerima vaksin berjalan lancar.
"Dengan vaksin sekali suntik, maka mempermudah kerja vaksinasi jadi setengahnya," ujar Nuning.
Advertisement