Dirut PLN Diperiksa KPK
Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir hari ini memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
"Diperiksa sebagai saksi ya," kata Sofyan saat tiba di gedung KPK Jakarta, Jumat 20 Juli 2018.
Sofyan tampak didampingi sejumlah stafnya.
Saat ditanya soal penunjukan langsung proyek senilai 900 juta dolar AS itu, Sofyan tidak menjelaskannya kepada wartawan.
"Nggak, nggak, nggak ada," kata Sofyan.
Pada Kamis kemarin KPK juga sudah memeriksa Menteri Sosial Idrus Marham dalam kasus yang sama.
Rumah Idrus adalah lokasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Jumat 13 Juli lalu yang menjadi awal kasus ini. Idrus mengaku kenal dengan dua orang tersangka dalam kasus tersebut yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.
Pada Minggu 15 Juli petugas KPK menggeledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir, sedangkan pada Senin 16 Juli KPK menyita dokumen dan CCTV dari penggeledahan di kantor Pembangkit Jawa Bali (PJB) I di gedung Indonesia Power yang merupakan anak perusahaan PLN, ruang kerja Eni Maulani Saragih di gedung DPR dan kantor pusat PLN.
Saat OTT, KPK mengamankan sejumlah barang bukti yaitu uang Rp500 juta dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.
Diduga penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sebelumnya Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.
Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaa pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. (ar/rr)
Advertisement