Dirut PLN Diperiksa 6 Jam, Dalami Keterlibatan dengan Tersangka
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengatakan penyidik KPK mendalami pertemuan-pertemuan yang diduga dilakukan oleh Direktur Utama PLN Sofyan Basir dan para tersangka kasus suap Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
"Penyidik mendalami pertemuan-pertemuan yang diduga dilakukan oleh saksi dengan tersangka. Selain itu, dalam kapasitas saksi sebagai Dirut PLN, penyidik juga mendalami peran dan arahan saksi dalam hal penunjukan Blackgold," katanya, Jumat, 20 Juli 2018.
Lanjut Febri, pendalaman itu terungkap dalam proses pemeriksaan terhadap saksi Dirut PLN Sofyan Basir pada Jumat, 20 Juli 2018 selama 6 jam. Saat keluar dari gedung KPK, Sofyan mengaku menjelaskan sejumlah hal soal kebijakan perusahaan.
"Ditanyakan mengenai tugas saya, kewajiban saya, fungsi saya sesuai fungsi dirut. Saya jelaskan masalah-masalah kebijakan dan sebagainya, cukup detail," kata Sofyan.
Menurut Sofyan, penunjukan anggota konsorsium untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1 dimiliki PT PJB Investasi.
"Pemilihan langsung emang itu ketentuannya penugasan. Ada kebijakan yang dikeluarkan perusahaan kepada PJB (Pembangkit Jawa-Bali)," ungkap Sofyan.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2018-2027 proyek senilai Rp12,78 triliun dikerjakan oleh konsorsium perusahaan yang terdiri atas PT PJBI, PT PLN Batubara, PT Samantaka Batubara dan China Huadian Engineering Company Limited. Tersangka pemberi suap dalam kasus ini, Johannes Budisutrisno Kotjo adalah pemegang saham BlackGold hingga Juni 2018.
Sedangkan PT Pembangkit Jawa-Bali Investasi adalah anak usaha PT PLN yang memegang proyek hingga 59 persen, sedangkan sisanya 41 persen dikerjakan tiga perusahaan konsorsium. PT PJB ini juga yang punya kewenangan untuk menentukan perusahaan-perusahaan anggota konsorsium
Namun terkait pertemuannya dengan Johannes dan tersangka penerima suap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih, tidak menjelaskan kepada wartawan. "Oh tidak tahu, tanya sama penyidik yang jelas, sudah ya," tambah Sofyan pendek.
Pada Kamis (19/7), KPK juga sudah memeriksa Menteri Sosial Idrus Marham dalam kasus yang sama. Rumah Idrus adalah lokasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Jumat (13/7) yang menjadi awal kasus ini, Idrus pun mengaku kenal dengan dua orang tersangka dalam kasus tersebut yaitu Eni Maulani Saragih Johannes Budisutrisno Kotjo.
Pada Minggu (15/7) petugas KPK menggeledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir sedangkan pada Senin (16/7) KPK menyita dokumen dan CCTV dari penggeledahan di kantor PJB Investasi di gedung Indonesia Power yang merupakan anak perusahaan PLN, ruang kerja Eni Maulani Saragih di gedung DPR dan kantor pusat PLN.
Saat OTT, KPK mengamankan sejumlah barang bukti yaitu uang Rp500 juta dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.
Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sebelumnya Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.
Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaa pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. (ant/wit)
Advertisement