Diplomasi Rokok Kretek dan Harga Diri Anak Bangsa
Pada bulan Desember 1949, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) digelar di Den Haag, Belanda. Dalam sesi rehat, semua orang terganggu karena ruangan dipenuhi asap yang beraroma rempah terbakar.
Semua mata tertuju pada seorang pria tua berjanggut yang sedang merokok di pojok ruangan. Rokok kretek campuran dari tembakau, cengkeh, dan lada.
Delegasi AS pelahan mendekati lelaki yang tampak acuh tak acuh meski diperhatikan semua orang. Seketika itu juga beberapa orang dari Delegasi Belanda, Australia, dan Swedia ikut menghampirinya.
"Apa Tuan tidak punya rasa hormat?" ujar Delegasi Belanda.
Pria tua berjanggut itu hanya tersenyum seraya mengembuskan asap rokok yang membentuk huruf O. Pria tua itu menjawab: "Apa maksud Tuan dengan rasa hormat?"
"Asap dan aromanya itu (rokok) sangat menyengat, mengganggu kami semua," jawab orang Belanda.
"Tahukah Tuan, aroma itu berasal dari tembakau Deli, cengkeh dari Sulawesi, lada dari Lampung. Ketiga komoditas itulah yang mendorong Tuan beserta balatentara Tuan datang ke negeri kami dan akhirnya menjajah kami. Tanpa ketiga komoditas itu, apa Tuan masih mau datang ke negeri kami?" ucap pria tua itu dengan santun dalam bahasa diplomat berkelas.
"Ya, tapi ini 'kan tempat terhormat? Tidak ada tempat merokok di sini", jawab orang Belanda.
"Kami memang tidak pandai menciptakan tempat bagi orang terhormat, tetapi kami mampu beramah-tamah sekian ratus tahun dengan orang yang menjarah negeri kami. Apakah itu kurang cukup mengajarkan Tuan tentang rasa malu?" jawab pria tua itu lagi.
Kemudian pria tua itu menatap ke semua orang yang mengerumuninya, "Setujui dan akui sajalah kedaulatan negeri kami, maka Tuan-tuan tidak akan pernah bertemu dengan orang seperti saya lagi. Tempat terhormat ini tidak akan lagi tercemar dengan asap beraroma tembakau, cengkeh dan lada," tuturnya.
Orang Belanda itu tersipu malu. Sementara para Delegasi AS, Australia dan Swedia bertepuk tangan sebagai ungkapan rasa hormat.
Lelaki Tua Itu
Siapakah tetua itu? Ia adalah H. Agus Salim, Bapak Pendiri bangsa Indonesia. Tokoh yang menguasai 6 bahasa. Diplomat yang seumur hidupnya melarat untuk pengabdiannya kepada kemerdekaan RI. Pada tahun 1953, ia dipercayai menjadi dosen selama setengah tahun di Cornell University, AS.
Taktik Hadapi Penjajah
Proklamasi itu kemerdekaan secara de facto, namun secara de jure orang-orang terbaik bangsa mati-matian memperjuangkannya di Den Haag, Belanda.
Begitulah cara H. Agus Salim menghadapi penjajah beserta kacungnya yang mengatasnamakan "internasional".
Semua orang itu sama. Punya rasa takut, baik itu kepada Tuhan, sesama manusia maupun bencana alam.
Orang yang kita lihat dalam kisah ini, berani karena dulunya sering diintimidasi oleh rasa takut. Karena sudah biasa menghadapi rasa takut, akhirnya mereka mampu mengendalikan rasa takutnya menjadi kekuatan untuk berani.