Diplomasi Nasi Goreng SBY-Prabowo
PERTEMUAN SBY dengan Prabowo di Cikeas tadi malam (27/7) berakhir anti klimaks.
Penilaian semacam itu setidaknya datang dari pengamat maupun kelompok penentang Jokowi yang berharap akan ada kejutan dari pertemuan dua orang petinggi partai “oposisi” itu.
Ada harapan pertemuan tersebut menghasilkan pembentukan blok baru Koalisi Merah Putih (KMP) jilid II atau setidaknya kesepakatan tentang pasangan capres yang akan diusung Gerindra-Demokrat pada Pilpres 2019.
Kalau toh belum muncul nama, setidaknya ada kesepakatan untuk menjalin koalisi.
Harapan yang wajar, karena Prabowo sejauh ini masih dianggap penantang terkuat dari Jokowi. Sementara dari kubu SBY sudah dapat dibaca langkah politiknya yang sedang menyiapkan Agus Harimurti sang putra mahkota untuk Pilpres 2019 atau paling lambat pada Pilpres 2024.
Untuk apa Agus Harimurti mengorbankan karir militernya yang cemerlang dengan mengikuti Pilkada DKI, bila tidak untuk tujuan politik yang lebih besar, yakni kursi kepresidenan?
Spekulasi kian menguat karena Agus juga dilibatkan pertemuan tersebut.
Hasilnya seperti sudah disampaikan, tidak ada kesepakatan untuk menyebut nama pasangan capres, tidak juga ada kesepakatan soal koalisi. Yang muncul adalah kesepakatan untuk bersama-sama mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam bahasa SBY yang seperti biasa agak sulit dipahami oleh kalangan awam, “power must not go uncheck.”
Bagi Anda yang bingung, SBY punya penjelasan lanjutan. “Artinya apa, kita, kami, harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan itu tidak melampui batas, sehingga cross the line (melewati batas), sehingga masuk yang disebut abuse of power (penyimpangan kekuasaan)," ujar SBY.
Penjelasan yang sedikit lebih sederhana datang dari Prabowo. "Kita harus lakukan check and balances, kekuasaan harus diawasi dan diimbangi," ucap Prabowo.
Jadi pertemuan tadi malam merupakan peringatan bagi Jokowi. Keduanya melihat pemerintahan Jokowi sudah mulai kelewatan, melampaui batas. Kalau dalam bahasa Jawa sudah ada tanda-tanda mengarah ke sikap adigang, adigung dan adiguno. Mengandalkan kekuasaan, mengandalkan kekuatan yang dimiliki.
Situasi inilah yang menurut SBY memaksanya mengakhiri puasa politik dengan tidak bicara kepada media selama enam bulan.
Tidak dijelaskan apa saja yang dimaksud dengan pemerintahan Jokowi telah melampaui batas? Apakah penangkapan dan kriminalisasi ulama, serta terbitnya Perppu Ormas termasuk di dalamnya?
Yang secara tegas disebutkan SBY dan Prabowo adalah lahirnya UU Pemilu yang antara lain mengatur ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara secara nasional.
Prabowo secara keras menyebut PT 20% dan 25% adalah kecelakaan sejarah. Sebuah lelucon yang tidak lucu, untuk menipu rakyat.
Tidak Mengagetkan
Bagi Anda yang hafal dengan langgam politik SBY, hasil pertemuan tersebut tidak terlalu mengejutkan. Sikap “non blok”, atau sering juga disebut netral, merupakan opsi politik yang sering dipilihnya.
Pada Pilpres 2014 kendati melakukan penjaringan capres/cawapres melalui sebuah konvensi, akhirnya Demokrat memutuskan tidak memajukan calonnya.
SBY menyatakan Demokrat bersifat netral. Tidak bergabung dalam kubu pendukung Jokowi-JK yang dikenal dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), maupun Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung pasangan Prabowo-Hatta.
Pilihan bersikap netral ditegaskan dalam Rapimnas Demokrat (5/2014). Namun sebulan kemudian setelah Prabowo memaparkan visi dan misinya di depan para pimpinan Demokrat, partai berlambang bintang mercy itu menyatakan ada kesamaan visi dan misi Prabowo-Hatta dengan mereka. Akhirnya mereka memutuskan mendukung Prabowo-Hatta walau terkesan setengah hati.
Sikap serupa terulang kembali dalam Pilkada DKI 2017. Setelah pasangan Agus-Silvy yang didukung Demokrat kalah pada putaran pertama, mereka juga memutuskan untuk netral tidak mendukung pasangan Ahok-Djarot maupun pasangan Anies-Sandi.
Dari dua kali pilihan politik Demokrat atau lebih tepatnya pilihan politik SBY, Nampak sekali bila mereka selalu bermain di wilayah “di antara,” in-between. Tidak ke kiri, tidak ke kanan.
Sikap ini sering membingungkan banyak pengamat. Sampai-sampai ada yang menyebutnya sebagai sikap atau pilihan politik yang paling aneh di dunia.
Pilihan untuk “bekerjasama mengawasi pemerintahan,” tapi tidak berkoalisi dengan Gerindra, sesungguhnya bisa dilihat sebagai upaya SBY untuk menjaga agar kartunya tetap hidup.
SBY tetap menahan kartunya di tangan, sambil mengamati perkembangan (wait and see). Prabowo pasti sangat paham, karena ini bukan pertamakali terjadi.
Setidaknya ada dua skenario tentang UU Pemilu yang mengatur PT 20% kursi dan 25% suara. Pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan dan meniadakan ambang batas pencapresan karena pemilu legislatif dan pilpres dilakukan secara serentak.
Kedua, MK menolak gugatan dan PT 20% kursi, 25% suara tetap diberlakukan.
Pada skenario MK mengabulkan gugatan, maka Demokrat bisa menjadi sangat leluasa untuk mengajukan calon sendiri. Jadi koalisi secara dini memang tidak diperlukan. Hanya membuat sebuah kerepotan yang tidak perlu.
Demokrat tetap bisa berkoalisi dengan Gerindra, bila secara kalkulasi politik, peluang Prabowo untuk menang dalam pilpres lebih kuat dibandingkan Jokowi atau kandidat lain.
Mengapa Prabowo layak menjadi pilihan? Dilihat dari sisi usia, kemungkinan besar Prabowo hanya akan menjabat selama satu periode.
Bila Agus dipasangkan dengan Prabowo sebagai cawapres, maka pada 2024 dia tidak akan berhadapan dengan incumbent. Jalannya bisa lebih lempang dan lapang.
Di luar Prabowo, SBY bisa mencari kandidat lain untuk dipasangkan dengan Agus, baik sebagai capres atau cawapres. Semuanya sangat tergantung perkembangan politik.
Bila peluang Agus terbuka, mengapa tidak coba dipaksakan maju pada Pilpres 2019. Kalah menang, bukan masalah.
Bagi Agus ini barulah pertempuran awal, atau dalam pewayangan disebut perang kembang. Pada Pilpres 2024 Agus sudah akan sangat matang dan siap menghadapi perang sebenarnya.
Bila MK menolak gugatan atau uji materiil PT 20% kursi dan 25% suara, maka SBY juga masih punya dua opsi.
Pertama, menjalin koalisi dengan Gerindra ditambah PKS dengan PAN. Kedua, menjalin koalisi dengan partai-partai yang sekarang ada dalam kubu pendukung pemerintah.
Demokrat akan menjalin koalisi dengan Gerindra, PKS dan PAN bila kubu partai pemerintah tetap solid dan memutuskan untuk mengajukan Jokowi sebagai capres.
Dengan begitu hanya akan muncul dua pasang calon, yakni Jokowi dan calon yang didukung oleh oposisi.
Sebaliknya bila partai pendukung pemerintah tidak solid, maka Demokrat tidak harus terikat dengan Gerindra.
Demokrat atau SBY bisa menggoda PKB, Golkar atau PPP.
PKB saat ini dalam posisi tiarap, karena tersandera ancaman reshufle.
Sementara PPP disandera dengan reshufle dan legalitas dualisme kepemimpinan, antara kubu Romy dan kubu Djan Faridz.
Namun seiring mendekatnya Pilpres dan berakhirnya masa jabatan Jokowi, PKB dan PPP pasti akan lebih berani mengambil langkah politik.
SBY bagi PKB dan PPP, bukanlah orang baru. Mereka pernah merasakan sejuknya berada di bawah naungan bintang mercy selama dua periode pemerintahan SBY. Jadi dalam bahasa anak muda sekarang, sangat terbuka kemungkinan Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK).
Bagaimana dengan Golkar? Posisinya sangat tergantung bagaimana dengan kelihaian Setya Novanto berakrobat menghadapi jerat hukum KPK.
Selama ini Novanto sudah menunjukkan kemampuannya yang berada dalam kelas dewa. Dia selalu lolos dalam berbagai jeratan kasus.
Bila Novanto bebas, Golkar akan tetap solid mendukung Jokowi dan tidak mungkin digoda SBY.
Sebaliknya bila Novanto gagal berakrobat dan kemudian dijatuhi hukuman, maka sikap politik Golkar akan sangat tergantung siapa yang menjadi ketua umum pengganti Novanto.
Dengan berbagai kalkulasi tersebut, maka pilihan untuk sejak awal tidak menyepakati koalisi dengan Gerindra, adalah langkah sangat cerdik dan penuh perhitungan dari SBY.
Pilihan untuk bertemu dengan Prabowo dan kemudian kemungkinan bertemu Milligan PKS dan PAN merupakan upaya SBY agar tidak terjebak dalam posisi kuldesak, jalan buntu.
Lantas apa keuntungan politik bagi Prabowo? Dari kalkulasi peroleh kursi di DPR, bila Gerindra meneruskan koalisinya bersama PKS, maka Prabowo sudah hampir pasti mempunyai satu tiket untuk Pilpres 2019. Hanya saja perjalanan menuju Pilpres 2019 masih cukup panjang.
Posisi Jokowi yang sangat kuat di ekeskutif dan legilatif jika dibiarkan, akan sangat tidak menguntungkan bagi Prabowo.
Dengan bertemu, makan nasi goreng bersama SBY, selain mendapat “sekutu” baru, setidaknya Prabowo bisa mengurangi front pertempuran yang harus dihadapinya. Sebagai pensiunan jenderal tempur Prabowo pasti sangat paham soal itu. end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik