Diplomasi itu Unik: Antara Sexy dan Vital
KEMARIN merebak di media sosial nama-nama calon dubes R.I. untuk 18 pos di luar negeri yang sedang diproses. Mereka kabarnya sedang dipersiapkan untuk menggantikan pada dubes di 18 pos di luar negeri yang segera habis masa penugasan mereka. Ini mutasi biasa. Dalam lembaran fotokopi yang beredar itu hanya 12 nama tertera pada lembar pertama. Lembar kedua tidak beredar, saya memperolehnya. Di sana ada 6 nama lagi disana.
Dari 18 nama-nama itu, 13 adalah pejabat karir diplomat berasal dari Kemlu, 4 pejabat non Kemlu atau mantan menteri, dan hanya satu nama yang bukan berasal dari instansi pemerintah/negara, yang dikenal sebagai aktifis HAM internasional. Secara konstitusi, pengangkatan duta besar itu hak-prerogatif presiden.
Dari data ‘bocoran’ ini ada kemajuan. Pengakuan pentingnya pejabat karir memang menguat. Dalam pengusulan nama-nama calon dubes sebelumnya, calon non-karir mengancam menggerus kesempatan bagi pejabat karir. Jika pada masa Presiden SBY jumlah non-karir dibatas maksimal 30 persen, dalam pencalonan dubes yang lalu pejabat karir hanya tinggal 50-55 persen saja. Wajar, pemerintah baru memberikan ‘award’ kepada pendukung yang telah berjuang dalam pilpres, meskipun dalam penugasan diplomatik harus teliti karena para dubes itu ujung-tombak terdepan dan menjadi ‘wajah’ Indonesia di luar negeri.
Saya bukan membela teman-teman saya di Kemlu bahwa menjadi dubes itu prerogatif Menlu dan hanya untuk orang karir. Mengangkat dubes itu hak prerogatif presiden atau kepala negara, ini juga praktik di semua negara. Dalam ‘bocoran’ itu saya hanya membaca satu nama yang bukan berasal dari diplomat karir Kemlu atau dari instansi pemerintah/negara. Ini kemajuan. Mudah-mudahan bisa dipertahankan.
Tetapi memang diplomasi dan hubungan internasional itu ‘a different animal’ unik dan sensitif. Karena itu perlu ditangani secara hati-hati dan khusus tentang pencalonan dubes harus ‘discreet’. Semua proses harus diamankan dari publik sampai yang bersangkutan dilantik oleh Presiden di Istana. Ini memang praktik internasional.
Menjadi dubes itu bukan sekadar pintar cas-cis-cus berbahasa Inggeris dan bahasa asing lainnya. Bukan pula sekadar orang berpengalaman intenasional atau biasa tinggal di negeri orang. Apalagi sekadar pandai berdagang. Salah-salah pilih akan mempermalukan Republik ini di luar negeri.
Dulu pernah saya menulis apa keuntungan atau kerugian dalam mengangkat pejabat non-karir menjadi dubes. Kata kuncinya adalah: pejabat yang efektif dan memiliki akses dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan diplomasi dan hubungan luar negeri.
Seseorang yang ‘dekat’ dengan presiden akan disenangi oleh negara penerima (receiving state) karena setiap masalah yang muncul mereka akan mudah mengakses keputusan sampai ke tingkat presiden kita melalui sang Dubes RI, melebihi akses ke menteri luar negeri. Meskipun sang Dubes agak kurang mampu berkomunikasi internasional —apalagi komunikasi diplomatik yang jauh rumit— tetapi akses ke presiden ini maha penting. Amerika sendiri sering mengangkat tokoh-tokoh politik atau bisnis yang dekat dengan presiden dan ditempatkan di pos-pos strategis untuk memudahkan komunikasi antar-negara dan pengambilan keputusan yang vital.
Kemarin seorang teman saya dari perguruan tinggi bertanya tentang prosedur pengangkatan dubes itu seperti apa dan berapa lama waktu proses dari mulai pencalonan sampai mereka berangkat ke luar negeri. Saya jelaskan, perkiraan saya fotokopi nama-nama itu memang belum berstatus karena tidak jelas nomor dan stempel resmi. Tetapi dugaan saya, itu adalah lampiran surat dari Menlu kepada Presiden untuk mempertimbangkan pencalonan mereka.
Sumber nama-nama untuk menjadi dubes itu ada dua, kata saya lebih lanjut. Pertama, adalah nama-nama dari pejabat karir Kemlu, tentu saja berasal dari Menlu sendiri. Kedua, bersumber dari pejabat non-Kemlu —baik berasal dari instansi pemerintah atau dari luar pemerintah—biasanya nama itu berasal dari kantor kepresidenan alias Istana. Setidaknya, Menlu diberitahu nama-nama non-karir oleh pejabat Istana yang mengatakan ‘telah disetujui oleh presiden’, namun tetap akan dikonsultasikan langsung oleh Menlu dengan Presiden.
Setelah nama-nama terkumpul, nama-nama secara keseluruhan dilaporkan oleh Menlu kepada Presiden untuk memperoleh persetujuan lisan. Tentu, ada diskusi antara Menlu dengan Presiden, terutama berkaitan dengan pos-pos strategis maupun tokoh-tokoh tertentu. Presiden biasanya bertanya secara umum siapa pejabat karir yang dipromosikan menjadi dubes. Biasanya pesiden kurang mengenal mereka. Tidak jarang pula —meskipun nama-nama pejabat non-karir telah mendapat persetujuan lisan presiden untuk pos-pos tertentu— dibahas ulang. Sering pula terjadi perubahan pos: dari satu pos ke pos lain, setelah diskusi dengan Menlu. Itu proses pengumpulan nama.
Proses administratif seperti apa? Setelah adanya surat resmi Menlu kepada Presiden dengan Lampiran surat berisikan nama-nama calon dubes dan pos masing-masing, Menlu akan memperoleh pemberitahuan dari Istana mengenai tanggapan Presiden. Tidak jarang pula, seperti saya kemukakan di atas, Presiden memanggil Menlu sekiranya ada keragu-raguan terhadap nama dan pos para calon dubes itu.
Setelah beres dan terkonfirmasi, barulah Presiden —melalui Sekretariat Negara—menyampaikan nama-nama calon dubes dengan pos masing-masing ke DPR RI. Kemudian, dalam sidang pleno DPR RI, Ketua DPR melaporkan adanya surat dari Presiden untuk pencalonan dubes dan meminta persetujuan agar nama-nama itu diproses oleh Komisi I DPR RI. DPR RI lalu menjadwalkan Rapat Dengar Pendapat Umum (RUDP) khusus untuk mendengarkan presentasi visi-misi para calon dubes dalam suatu sidang khusus.
Secara konstitusi memang Presiden mengangkat duta besar setelah mendengarkan pertimbangan DPR RI. Maka Komisi I DPR melaporkan hasil ‘fit and proper test’ itu ke Pleno untuk disahkan. Berdasarkan pengesahan pleno DPR RI kemudian sekretariat DPR RI mengirimkan surat Ketua DPR —berisikan pertimbangan satu persatu calon dengan catatan—kepala Presiden. Ada kalanya, DPR RI mengusulkan pertukaran tempat atau pos.
Pelantikan para dubes di Istana Negara itu adalah proses internal dalam negeri terakhir bagi para calon dubes sebelum berangkat ke negara-akreditasi. Namun, sebelum pelantikan, Presiden harus memastikan bahwa para calon dubes itu telah memperoleh agrément [baca: aggrémon], (istilah Prancis untuk agreement) alias persetujuan dari negara akreditasi terhadap penunjukan calon dubes oleh pemerintah RI.
Ada yang ditolak? Dalam sejarahnya ada dan hal ini lumrah terjadi dalam praktik internasional. Pengangkatan dubes bertujuan untuk mengefektifkan hubungan dan kerjasama bilateral (dalam konteks pos-pos bilateral) bukan malah mengacaukan. Karena itu, jika nama calon dubes yang diajukan itu ‘bermasalah’ bagi negara penerima maka persetujuan atau yang disebut ‘agrément’ itu tidak turun-turun. Menlu akan mencari tahu secara ‘discreet’ apakah memang ada penolakan dan dengan alasan apa dari negara penerima belum memberikan agrément. Apakah karena sedang terjadi pergantian presiden, atau ada alasan lain untuk penundaan? Adakalanya, penundaan pemberian agrément itu memakan waktu hampir setahun. Tidak masuk di akal mengapa waktu selama itu padahal situasi di negara akreditasi normal-normal saja?
Dalam kasus seperti ini, berlaku pula asas ‘reciprocity’. Jika Indonesia menyetujui dubes asing sampai setahun, biasanya perlakuan kita ini dibalas. Maka agrément dari negara akreditasi juga turunnya setahun setelah diajukan. Kita harus menerima, karena kita yang memulai. Dan, ini adalah praktik biasa karena setiap negara berdaulat.
Normalnya, semua proses berlangsung sekitar 6 sampai 8 bulan paling lama dubes (designate) pun berangkat menuju pos penugasannya di negara akreditasi.
Mengapa begitu lama? Karena begitulah praktik prosedur internal yang terjadi di masing-masing negara. Dan inilah praktik internasional yang berlaku.
Dalam konteks bocoran tadi, apa observasi kita?
Pertama, pergantian atau mutasi rutin terjadi. Dalam praktik Indonesia setiap 3 tahun para dubes habis masa tugasnya dan segera kembali ke tanah air. Ada yang lebih lama? Ya, yang saya alami seperti dubes Korea Utara biasanya tidak diganti-ganti. Bisa belasan tahun. Dulu di zaman Presiden Marcos dari Filipina, dubes adalah teman dekat beliau atau isterinya, atau kerabat, atau teman. Sehingga hampir tiada batas waktu penugasan bagi kepala perwakilan diplomatik atau konsuler Filipina – terutama di pos-pos penting dan ‘strategis’ seperti PBB New York karena Imelda Marcos suka belanja di kota ini-- atau pos Washington DC karena hubungan khusus antara kedua negara.
Untuk itu, persiapan para calon dubes baru di pos-pos yang akan ditinggalkan harus segera dipersiapkan. Proses penggantian itu berlangsung sekitar 6-8 bulan: dari mulai pengumpulan dan pengajuan nama-nama calon oleh Menlu kepada Presiden dan akhirnya mereka dilantik di Istana —jika tidak bermasalah, disetujui oleh Komisi I DPR RI dan memperoleh ‘agrément’— lalu dilantik oleh Presiden di Istana Negara dan kemudian tinggal menentukan kapan berangkat ke medan tugas. Dubes (designate) Indonesia suka menunda berangkat ke pos di luar negeri apalagi waktunya mendekat lebaran. Mereka ingin kumpul dengan keluarga di saat lebaran, atau Natalan bagi yang beragama Kristen, sebelum berangkat menuju pos di luar negeri.
Kedua, terus terang saya agak terusik ketika nama-nama calon dubes itu merebak ke media. Ketika jubir Kemlu Arrmanatha Nasir dikonfirmasi media, dia tidak membantah atau mengkonfirmasi berita itu. Besar kemungkinan ini bukan hoax.
Bagaimana fotokopi nama-nama para calon dubes itu bisa ‘bocor’ ke publik tidak susah untuk menebak sumbernya: bisa dari Kemlu sendiri atau dari Istana Negara. Tidak mungkin dari DPR RI, karena surat resmi Presiden untuk pengajuan nama-nama calon dubes untuk diproses di DPR RI —disetujui Pleno, lalu diserahkan untuk proses RUDP yang dikenal sebagai ‘fit and proper’, lalu disahkan oleh Pleno dan kemudian disampaikan secara resmi kepada Presiden— belum sampai ke DPR. Dulu memang pernah, nama-nama calon dubes bocor dari DPR RI.
Apa motivasi untuk ‘membocorkan’ nama-nama calon dubes ke publik? Ada yang menduga untuk ‘testing the water’ karena dari nama-nama itu saya teliti tidak semua dari pejabat karir, alias pejabat Kemlu atau dari instansi pemerintah lainnya. Siapa tahu ada yang ditolak publik.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin heran mengapa surat tersebut bocor karena bersifat rahasia.
"Kami di DPR belum tahu proses ini, ini mungkin intern pemerintah. Sifatnya sangat rahasia, tapi kok bisa bocor ya," ujar Hasanuddin.
Yang aneh adalah ketika TB Hasanuddin menyatakan surat ‘bocoran’ tersebut terbit pada tahun 2014 di era kepemimpinan Presiden SBY. Pastilah nama-nama calon dubes ini diproses dalam waktu tidak lebih dari sebulan yang lalu. Tidak mungkin pencalonan oleh Presiden SBY di tahun 2014 masih tertahan di Istana. Dan tak mungkin pula Istana akan mengirimkan surat Presiden SBY yang sudah kadaluarsa 3 tahun yang lalu.
Jika pengajuan nama-nama diproses di akhir masa-tugas Presiden SBY apakah bisa diganti oleh Presiden Jokowi? Secara teoretis bisa, karena pengajuan nama-nama calon dubes itu hak prerogatif dari presiden yang sah. Namun, dalam proses penggantian dubes di tahun 2015 yang lalu setahu saya nama-nama yang telah diproses Presiden SBY tetap berlanjut dan akhirnya dilantik oleh Presiden Jokowi. Ini soal-soal internal dan sudah diatur oleh UUD 1945.
Ketiga, bilamana menyangkut soal-soal diplomatik dan hubungan antar-negara maka penanganannya juga harus ‘discreet’ atau rahasia. Kenapa? Karena hubungan antar negara itu melibatkan nama, harga diri, kehormatan, kedaulatan dan martabat negara. Sangat sensitif dan berisiko.
Bayangkan. Jika salah satu atau beberapa nama yang telah ‘bocor’ ke publik pada akhirnya ditolak oleh negara penerima apa yang terjadi? Ini bukan tidak pernah terjadi dalam praktik internasional. Maka, akan terjadi ‘masalah diplomatik’ yang akan mengganggu hubungan kita ke depan dengan negara akreditasi itu. Calon yang sudah diketahui publik pun akan dipermalukan. Keluarga dan teman-teman juga turut bersedih.
Pencalonan dubes memang wilayah berdaulat kita. Tetapi adanya persetujuan (agrément) negara akreditasi juga bukan berarti pencalonan itu ‘taken for granted’. Bila negara penerima melihat ‘ada kesengajaan’ dari pemerintah membocorkan nama-nama itu ke publik yang juga akan dikutip oleh media negara akreditasi maka pembocoran nama ini bisa dianggap sebagai ‘fait acompli’, suatu tindakan pemaksaan kehendak di suatu wilayah berdaulat mereka. Mungkin, karena ‘pembocoran dengan sengaja’ negara itu bisa menolak memberikan ‘agrément’, terutama apabila hal itu menimbulkan komplikasi politis di dalam negeri dalam kaitan terhadap kepala negara dalam konteks politik internal mereka.
Tidak sesederhana logika bagi orang-orang pemegang ‘rahasia negara’. Apapun alasan dan kepentingannya dokumen negara tidak boleh bocor. Bukan saja secara etika jabatan, apalagi hukum yang jelas memberikan sanksi terhadap pembocoran rahasia negara harus jalan, ‘pembocoran’ ini kesalahan besar. Yang lebih fatal lagi karena dokumen in menyangkut hubungan antar-negara yang biasanya sensitif bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang mengganggu hubungan dan kerjasama Indonesia dengan negara akreditasi.
Reformasi dan era IT memang membuat keadaan transparan. Banyak positif yang bisa diperoleh dalam era ini. Tetapi, jika menyangkut diplomasi dan hubungan internasional agar ditangani secara hati-hati dan seksama karena potensi yang bisa mengganggu bahkan merusak kepentingan Indonesia sendiri.
Dalam era keterbukaan, diplomasi harus transparan, kata seorang teman. Saya setuju, dengan catatan tidak semua bisa dibuka ke publik. Pembocor rahasia negara harus diproses hukum!
“Diplomasi itu unik. Yang terbuka adalah ‘sexy’, sedangkan yang tertutup adalah ‘vital’, kata saya mengutip ucapan senior saya di Kementerian Luar Negeri.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.