Diplomasi Gus Yahya, Ungkapkan Keengganan Investor ke Indonesia
Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI menuai protes dari berbagai kalangan karena dinilai tidak berpihak pada kepentingan masyarakat bawah. UU yang di dalamnya termuat dalam Omnibus Law tersebut berupaya memperluas lapangan pekerjaan dengan menarik banyak investor, termasuk memangkas perizinan usaha yang berbelit-belit.
Menurut Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, di mata pembuat UU dan kebijakan, cipta lapangan kerja harus diupayakan dengan menarik investor. Supaya investor tertarik, kata Gus Yahya, urusan perburuhan dipermudah dan dipermurah.
“Tapi sebenarnya ada yang lebih penting dalam pertimbangan investasi, yaitu kepastian hukum dan tarif impor di negara-negara pasar potensial,” ujar Gus Yahya, dalam keterangan tertulisnya.
Bagi investor, lanjut Gus Yahya, biaya investasi yang lebih mahal tidak terlalu menjadi persoalan asalkan ada kepastian mengenai keamanannya, yaitu dengan aturan-aturan terkait yang adil, jelas, dan diterapkan secara pasti.
“Asalkan ada kepastian, berapa pun biaya investasinya bisa dihitung dan dibebankan pada harga produk,” jelas kiai yang aktif dalam berbagai diplomasi internasional ini.
Sebaliknya, kata Gus Yahya, kalau hukum dikendalikan oleh korupsi, biaya dan keamanan investasi jadi tidak pasti dan tidak terjamin. “Dalam catatan, sudah ada sejumlah investor internasional besar yang kapok gara-gara menjadi korban korupsi di Indonesia. Maka, kuncinya ada pada pemerintahan yang baik dan bersih,” kata Gus Yahya.
Sementara itu, imbuhnya, investasi besar pasti mengincar pasar internasional. Barang yang diproduksi di sini nantinya akan diekspor. Negara-negara pengimpor biasanya menerapkan tarif berbeda atas negara pengekspor yang berbeda.
Negara-negara Eropa misalnya, menerapkan tarif impor barang dari Indonesia jauh lebih tinggi daripada barang asal Vietnam. Maka Vietnam terlihat lebih menarik sebagai tujuan investasi ketimbang Indonesia.
Menurut Gus Yahya, jelas bahwa dalam hal ini diplomasi internasional amat menentukan. Bagaimana upaya diplomatik Indonesia untuk bernegosiasi dengan negara-negara pasar potensial agar dikenakan tarif yang lebih murah.
“Sebagai landasan bagi diplomasi dan negosiasi itu, Indonesia harus merebut posisi yang kuat dalam percaturan politik internasional. Harus dibangun leverage (keunggulan) yang membuat dunia internasional menjadi lebih butuh dan lebih segan kepada Indonesia,” jelasnya.
Diplomasi Islam Nusantara
Untuk keperluan diplomasi internasional itu, kata Gus Yahya, artikulasi Islam Nusantara dan Islam Untuk Kemanusiaan (Humanitarian Islam) merupakan basis yang sangat kuat untuk suatu strategi diplomasi internasional dan kebijakan luar negeri yang efektif.
Ia menjelaskan, dunia internasional sedang dirundung kemelut konflik politik dan militer yang meluas dan telah berlangsung lama di atas isu-isu Islam dan identitas primordial lainnya.
“Islam Nusantara dan Humanitarian Islam menawarkan jalan keluar yang masuk akal dan dapat diterima oleh semua pihak yang menghendaki perdamaian,” tegas Gus Yahya.
Apabila Indonesia membangun kebijakan luar negeri dan strategi diplomasi internasional berlandaskan dua gagasan besar tersebut, lanjutnya, tidak sulit untuk meraih posisi kepemimpinan dalam upaya-upaya multilateral menuju penyelesaian konflik-konflik internasional yang sedang berkecamuk saat ini.
“Dengan begitu, Indonesia akan menggenggam kekuatan tawar yang lebih besar untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasional di arena internasional, termasuk kepentingan-kepentingan ekonomi,” tandas Gus Yahya.
Advertisement