Diplomasi ala Gus Yahya, Ini Komentar Para Pakar
"Setiap figur publik yang berkunjung dan melakukan hubungan dengan lembaga Israel kerap dituding tak berpihak pada Pelestina," kata Smith Al Hadar.
Lawatan KH Yahya Cholil Staquf ke Israel adalah untuk memenuhi undangan sebagai pemateri dalam kuliah umum The Israel Council on Foreign Relations yang digelar AJC Global Forum. Dalam serangkaian kunjungan tersebut, Gus Yahya pun bertemua PM Israel Benjamin Netanyahu.
Selain itu, Gus Yahya pun menyampaikan pemikirannya untuk membela perjuangan rakyat Palestina pada kuliah umum di Abba Eban Hall, Truman Institute, Hebrew University, Mount Scopus. Kuliah umum itu, bertemakan 'Islamic without Violence-An Indonesian Perspective on the Israeli- Palestinian Conflict' ini disampaikan pada Rabu (13/6/2018).
Dalam sesi dialog di hari pertama -Minggu (10/06/2018) waktu setempat dengan moderator AJC International Director of Interreligious Affairs, Rabi David Rosen- Gus Yahya yang merupakan mantan juru bicara presiden keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mengikuti jejak Gus Dur dalam lawatan ke Israel.
Lawatan Gus Yahya dilakukan menyusul tindakan keras tentara Israel terhadap demonstran Palestina di Jalur Gaza sejak 30 Maret 2018 lalu yang disebut Great March of Return untuk mengenang terusirnya warga Palestina dari tanahnya yang diduduki Israel. Lebih dari 120 warga Palestina tewas dan 3.700 lainnya luka-luka oleh tentara Israel.
Menanggapi hal itu, pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies, Smith Al Hadar, menyebut setiap figur publik yang berkunjung dan melakukan hubungan dengan lembaga Israel kerap dituding tak berpihak pada Pelestina.
"Waktu Gus Dur ke sana, dia juga menimbulkan polemik di dalam negeri," ujarnya, dikutip ngopibareng.id, Sabtu (16/6/2018).
Menurut Al Hadar, terdapat resistensi terhadap Israel di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemicunya, kata dia, kesamaan agama dengan mayoritas penduduk Palestina dan konstitusi yang menolak penjajahan negara atas negara.
Meski begitu, seperti dikutip BBC, di tengah sentimen anti-Israel yang dominan, Al Hadar menyebut hubungan di bawah tanah antara Indonesia dan Israel tetap terjadi. "Sejak era Soeharto, saling kunjung antara pejabat Indonesia dan Israel terjadi. Duta besar Israel untuk Singapura sering mondar-mandir ke Jakarta," ujarnya.
Al Hadar berkata, Komando Pasukan Khusus TNI bahkan mengimpor senjata Uzi dari Israel. "Tapi semua ini dilakukan secara diam-diam," tuturnya.
Jangan Adukkan Agama-Politik
Namun Adriana Elisabeth dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menegaskan, semestinya publik tak mencampur adukkan agama dengan politik.
"Ini tidak ada urusan agama sama sekali. Ini urusan kita dengan Palestina adalah persoalan kemanusiaan, persoalan HAM yang Indonesia punya concern tinggi," kata Adriana.
"Jadi tidak tepat kalau kemudian menganggap solidaritas Indonesia ke Palestina berbasis agama. Itu sama sekali keliru. Ini publik dalam negeri yang harus paham juga," tegas Adriana Elizabeth.
Sebelumnya, mantan komandan pasukan perdamaian Indonesia untuk PBB di Timur Tengah Letjen (Purn) Rais Abin, menyebut TNI pernah membeli lebih dari 30 pesawat tempur Skyhawk dari Israel, secara rahasia melalui operasi Alpha.
Operasi Alpha, sambungnya, saat itu tidak banyak diketahui karena 'kerjasama intelijennya yang sangat kokoh sehingga tidak bocor'.
"Saya melihat tidak membawa masalah politik," kata Abin.
Hubungan tokoh publik Indonesia dengan Israel dianggap tak etis, terutama ketika konflik di Jalur Gaza terus terjadi, bahkan dengan eskalasi belakangan ini.
Bagaimanapun, menurut Ketua PBNU, Imam Aziz, publik tidak sepatutnya memukul rata hubungan antara sejumlah pihak di Indonesia dan Israel. Ia berkata, kepentingan akademik dan kebudayaan berbeda dengan sikap diplomatik.
"Untuk diskusi di kampus, berkaitan dengan hubungan masyarakat Palestina dan Israel, itu biasa saja karena akademis dan ilmiah."
"Untuk urusan kebudayaan, kok dikaitkan dengan agama. Jadi ruwet. Urusan agama, beda lagi. Untuk akademik, sosial, bahkan bisnis, tidak masalah," ujarnya.
Isu Palestina jadi prioritas utama
Presiden Joko Widodo yang mengetahui perihal lawatan penasehatnya ke Israel, menegaskan dia berangkat bukan bagian dari diplomasi pemerintah Indonesia, namun atas urusan pribadi.
Meski demikian, Jokowi memastikan bahwa apa pun yang disampaikan Yahya dalam forum tersebut, pemerintah Indonesia tetap memegang teguh pendirian dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
"Beliau kan sudah menyampaikan itu urusan pribadi karena dia diundang sebagai pembicara di Israel. Tetapi berbicara di sana saya melihat, karena saya belum mendapat laporan, beliau belum pulang, intinya juga memberi dukungan kepada Palestina," ujar Jokowi kepada wartawan di Istana Bogor (12/6/2018).(adi)