Dimulai dari Kekuatan Civil Society
Di masa Orde Baru, gelora masyarakat sipil (Civil Society) begitu jelas dengan sikap kritis para intelektual. Di kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) menjadi contoh nyata kekuatan masyarakat sipil itu.
Sederet rapat akbar maupun istighosah kubro, menjadi momentum penting kekuatan itu. Sehingga, NU melalui tokoh-tokoh berlevel nasional mampu melakukan bargaining position (posisi tawar) dengan kekuatan penguasa.
Dalam promosi kekuatan Civil Society dilakukan Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam atawa M. AS Hikam lewat buku karyanya yang diterbitkan Pustaka LP3ES — Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM) yang menerbitkan jurnal Prisma sebagai wadah bergengsi para intektual publik masa itu.
Sementara Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai intelektual yang kebetulan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melakukan pelbagai langkah dan manuver untuk menunjukkan kekuatan Civil Society itu sekaligus melakukan pembelaan terhadap rakyat dan orang-orang yang dipinggirkan, kaum mustadh'afin, dan kelompok-kelompok minoritas, dalam kedudukan setara sebagai warga bangsa di muka hukum.
Terkait kekuatan Masyarakat Sipil, berikut uraian singkat Prof M Mas'ud Said, Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Jawa Timur. Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) memberi anotasi pada terbitan buku karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson, yang dinilainya masih relevan dengan kondisi sekarang.
Berikut catatan Ketua Umum Yayasan Sabilillah Kota Malang, dari buku yang dibacanya, sebagai renungan akhir tahun 2024. (Redaksi)
Mengapa Banyak Negara Miskin?
Alhamdulillah. Lebih banyak lagi buku penting untuk menjawab pertanyaan yang sangat penting. "Mengapa suatu bangsa maju, berkembang dan sejahtera. Mengapa banyak negara yang tetap miskin, walau sumber daya alamnya sangat melimpah".
Saya sedang membaca buku best seller New York Times dan Wall Street Journal. Buku berjudul Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson, terbitan pertama tahun 2012. Sekarang masih relevan.
Buku ini menjawab secara lengkap "mengapa USA, Inggris, Jerman sangat tinggi pendapatan perkapita, sementara beberapa di Sub Sahara , Amerika Tengah dan Asia Selatan dalam kondisi sebaliknya".
"Transformasi politik yang pluralistik dan penguatan ekonomi yang adil, yang dimulai dengan kuatnya peran masyarakat sipil untuk mengontrol negara adalah vital. Peran lain yg penting adalah keputusan keputusan jitu mendasar dari pemimpin negara untuk menentukan masa depan bangsanya secara adil dan merata".
Peran masyarakat sipil yang kuat, cerdas, berpihak kepada keadilan dan melembaga adalah salah satu kuncinya.
Untuk faham ini tentu butuh mempelajari political ideologies, political economy dan transformasi demokrasi yang butuh satu semester minimal. Tanpa itupun bisa asal kita banyak diskusi mendalam dan sering membaca buku buku penting.
Ekonomi politik intinya
Negara tak bisa hanya mengandalkan ekonomi berjalan atas alur dan kecepatannya sendiri semata, dan juga masyarakat tak boleh hanya menguatkan pertai politik tanpa arah yang jelas.
Kebijakan "Indonesia first, atau Indonesian first, ala Donald Trump, atau utamakan Indonesia dan perlindungan orang kecil dan institusi kecil dan kekuasaan ekonomi besar yang berlindung atau memanfaatkan kekuasaan harus ditata ulang.
Jangan lupa ada adagium yang berbahaya yang harus dipahami, orang tidak pinter akan dikuasai dan orang orang pintar, orang miskin akan dimanfaatkan orang kaya.
Wallahu a'lam
Advertisement