Dimensi Spiritual Tawasuf dalam Ketentuan Fikih Diperlukan
Kitab Al-Munqidz Min ad-Dlalal berbeda dengan karya-karya Imam Al-Ghazali lainnya. Di dalam kitab tersebut berisi tentang pengalaman dan perjalanan spiritual al-Ghazali dalam menempuh jalur sufi.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menyebut, kitab ini merupakan otobiografi Imam Al-Ghazali yang telah merasakan lezatnya beragama dan menikmati kedekatan dengan Allah SWT.
Syamsul mengutip salah satu bagian dari kitab Al Munqidz. Isinya, Al Ghazali membicarakan tentang perilaku korup dari para pengelola rumah-rumah yatim piatu dan para hakim di pengadilan. Padahal para pengelola dan hakim tersebut menguasai semua ilmu-ilmu bayan termasuk fikih. Bahkan bila ditanya suatu persoalan sekali pun, maka akan dijawabnya dengan kitab yang berjilid-jilid.
“Kenapa terjadi banyak korupsi di lembaga-lembaga Islam pada zaman itu seperti di rumah-rumah yatim dan pengadilan? Padahal para pengelolanya adalah orang-orang yang tahu tentang fikih. Bahkan kalau ditanya suatu soal akan dijawab dengan berjilid-jilid kitab. Tapi kenapa?” kutip Syamsul dari kitab karya murid Imam Al Haramain ini.
Bukan Sebatas Legal Formal
Al Ghazali menjawab, kutip Syamsul, para pengelola rumah yatim dan hakim di pengadilan memandang fikih hanya sebatas legal formal yang di dalamnya terkandung kategori-kategori taklifi halal-haram dan wad’I syarat-sebab. Sehingga fikih menjadi diskursus yang enak didiskusikan namun susah dilaksanakan. Karenanya bagi Al Ghazali, fikih tidak bersifat legal formal semata melainkan aturan-aturan hukum yang basah dengan spirit moral dan etika.
“Para pengelola dan hakim itu tidak menjiwai fikih, mereka hanya melihatnya sebagai satu bentuk formal dalam hukum Islam yang enak didiskusikan dan susah dilaksanakan. Dalam konteks itu, Al Ghazali berpikir ada dimensi spiritual yang hilang dari fikih, karenanya bagian yang hilang itu harus diisi kembali dan diambil dari bagian lain ajaran Islam yang lain yaitu dari tasawuf,” terang Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Dalam acara yang diselenggarakan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) pada Senin 25 Oktober 2021, pakar Hukum Islam ini menerangkan bahwa salah jasa terbesar Imam Al Ghazali yang dicatat oleh hampir semua pengkaji Studi Islam kontemporer ialah keberhasilannya memadukan fikih yang bergerak di wilayah eksoterik (dzahiriyah) dan tasawuf yang berjuang didomain esoterik (batiniyah).
Hal ini terbukti dengan kehadarian Al Ghazali, polemik panjang antara ahli fikih dan ahli tasawuf sedikit demi sedikit berkurang.
Maka tokoh semacam al-Ghazali ini bisa dijadikan sosok teladan bagaimana aliran ilmu dzahiriyah dan batiniyah dapat menyatu dan saling membela. Karena itulah, kata Syamsul, konten fikih seharusnya tidak hanya berisi koridor-koridor normatif an sich, tetapi juga menekankan pada aspek penghayatan spiritual terhadap perintah, larangan, dan anjuran Allah tersebut.
“Jadi fikih itu tidak boleh hanya dilihat sebagai kategori-kategori hukum, tentang halal dan haram semata, tapi juga harus menanamkan spiritualitas yang bisa kita ambil dari tasawuf,” tegas Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.