Dimensi Moralitas Demokrasi Diciderai, Muhammadiyah pun Meradang
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengungkapkan, demokrasi di Indonesia masih berjalan kurang menggembirakan dan acapkali tidak segan untuk mengorbankan rakyat kecil.
"Demokrasi ke depan memprihatinkan kita semua. Penyebabnya, demokrasi semakin liberal dan transaksional. Siapa yang menguasai pasar menjadi penentu. Ketika ini tidak dicegah, maka demokrasi hanya akan menjadi milik pemilik modal yang mendistorsi makna demokrasi itu sendiri," ungkap Busyro, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Rabu 5 September.
Pernyataan Busyro tersebut dikeluarkan menanggapi keputusan Bawaslu yang meloloskan 12 mantan narapidana korupsi sebagai caleg di Pileg 2019.
Busyro menilai, demokrasi sebagai rule of law sistem negara Indonesia bertumpu pada check and balance, sehingga dimaknai tidak sekadar pada aspek prosedural semata, tetapi semestinya juga mengandung muatan-muatan dimensi moralitas. Keputusan Bawaslu meloloskan caleg mantan narapidana korupsi dianggapnya menciderai dimensi moralitas demokrasi.
"Bawaslu bersama KPU seharusnya menjadi lembaga yang memiliki misi dan visi yang substansinya sama," sesalnya.
"Demokrasi sebagai rule of law sistem negara Indonesia bertumpu pada check and balance, sehingga dimaknai tidak sekadar pada aspek prosedural semata, tetapi semestinya juga mengandung muatan-muatan dimensi moralitas. Keputusan Bawaslu meloloskan caleg mantan narapidana korupsi dianggapnya menciderai dimensi moralitas demokrasi."
Lebih lanjut, Busyro menilai bahwa keputusan Bawaslu tersebut semakin menjadi bukti bahwa level demokrasi di Indonesia masih bersifat transaksional.
"Demokrasi transaksional menghasilkan pejabat pusat dan pejabat daerah yang mengalami krisis sebagai pemimpin, dampaknya yaitu rakyat kehilangan haknya untuk mendapatkan pemimpin yang berintegritas. Rakyat kita menderita karena dipimpin oleh mereka yang memiliki track record, kepekaan sosial, dan intelektualnya yang parah," ungkap Busyro.
"Ketika terpilih, justru mereka menunjukkan keasliannya. Nah, dengan kepekaan sosial yang seperti itu, bagaimana demokrasi bisa diproseskan dalam semua kebijakan pemerintahan? Ketika UU ini dijarah, di dalam proses-proses yang begitu itu dia mengalami beban moral, menjadi napi namun kemudian dipilih lagi. maka yang terjadi adalah tragedi," imbuh Busyro.
Sebelumnya, ia bicara dalam acara Diskusi Publik "Pemilu Berintegritas" di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, 4 September. Diskusi yang diadakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) bersama Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut.
Menurut Busyro, diskusi dilakukan dalam rangka ikhtiar mencari solusi terbaik yang mampu memberikan makna pada demokrasi yang mestinya ditegakkan dengan segala upaya. Sebagai pembicara, hadir beberapa aktivis dan tokoh seperti Titi Anggraini (Perludem), Ahmad Fanani (Wakil Ketua Madrasah Anti Korupsi), Donal Fariz (ICW), Arif Zulkifli (Tempo) dan beberapa lainnya. (adi)