Diluncurkan Historiografi Khittah & Politik NU, Karya Ahmad Baso
Khittah Nahdlatul Ulama (NU) kerap menjadi dalih untuk mereduksi perjuangan NU, pada sebatas komitmen untuk berdakwah dan berkarya di jalur sosial-budaya belaka. Padahal, perjuangan NU sejak awal kelahirannya, mencakup pula kesediaan untuk memasuki arena politik praktis, demi menyuarakan serta membela kemaslahatan umat, sekaligus ikut memastikan tegaknya agama dan negara secara harmonis dalam koridor NKRI.
Hal itu diungkapkan Ketua Yayasan Garuda Bumandala, H. Taufiq R. Abdullah, sebagai pijakan dalam melaunching sekaligus membedah buku "Historiografi Khittah dan Politik Nahdlatul Ulama" pada Rabu (22 Desember 2021) siang, besok, di Hotel Radisson, Kota Bandar Lampung.
Bedah buku yang dihelat secara Hybrid itu, akan menghadirkan Wakil Presiden, sekaligus Mustasyar PBNU, K.H Ma'ruf Amin, sebagai Keynote Speech.
Dalam agenda tersebut, Yayasan Garuda Bumandala menggandeng Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM-PBNU), sebagai salah satu perangkat PBNU yang secara peran dan fungsinya senafas dengan Yayasan garuda Bumandhala, dalam bidang kajian mengenai isu-isu strategis serta pemberdayaan manusia.
Selain menghadirkan penulis Buku, bedah buku yang digelar selepas Pembukaan Muktamar NU ke-34 itu akan menghadirkan beberapa narasumber yang expert di bidangnya,yakni Dr. Lili Romli, S.Psi, M.A. (Pengamat Politik, Peneliti LIPI) dan Dr. Rumadi Ahmad (Ketua LAKPESDAM PBNU).
Lebih lanjut, Aggota Komisi I DPR RI itu mengungkapkan, bahwa buku yang ditulis oleh Ahmad Basho itu, mengulas kembali konsepsi khittah sebagai garis-garis dasar perjuangan NU yang bersifat universal, mendasar dan bersifat baku, namun juga harus adaptif dan kreatif untuk merespons perkembangan zaman.
Ia berharap, tterbitnya buku Historiografi Khittah dan Politik NU itu akan semakin memperkaya dan mewarnai khazanah ke-NU-an, serta mempertajam pemahaman perihal Khittah Nahdlatul Ulama. Sebab khittah dan politik di tubuh NU memang seringkali disalahpahami sebagai dua elemen yang bersimpangan jalan, bahkan dipersepsikan berposisi diametral serta sulit menyatu laksana minyak dan air. Padahal realitas ke-NU-an sejak masa-masa awal berdirinya sampai era kontemporer terbukti hampir tidak pernah merefleksikan pemikiran dikotomis antara khittah dan politik. Sulit dipungkiri bahwa founding fathers NU memperlakukan keduanya dengan indah, selaras dan padu.
Sementara, dalam salah satu kesimpulan dan temuannya, Ahmad Baso dalam bukunya, menyuguhkan dua alternatif pengertian khittah. Yakni yang khash (far’i-juz’i) dan yang ‘am-kulli. Yang khash (spesifik dan partikular) adalah naskah Khittah NU hasil rumusan Komisi Khittah yang disahkan dalam Muktamar Situbondo.
Yang ‘am-kulli (universal, holistik) adalah segenap himmah, cita-cita dan pedoman perjuangan NU bagi agama dan bangsa dari masa berdirinya hingga kini, termasuk pelajaran yang ditimba dari zaman Wali Songo hingga kiprah ulama sebelum NU berdiri.
Hasil-hasil Muktamar Situbondo tentang Khittah, dari Komisi 1 hingga 4, adalah bagian dari totalitas makna Khittah NU yang ‘am-kulli ini.
Baso juga mengajak masyarakat khususnya generasi muda NU untuk dapat memahami lebih dalam mengenai khittah dan politik NU, dengan pemahaman yang komprehensif. Karena, masalah Khittah NU harus dilihat baik dalam konteks politik nasional maupun konteks politik global. Dimana selalu ada kekuatan di luar NU yang akan membuat NU terpolitisasi dan terfaksionalisasi, dan di-depolitisasi.
Daripada NU dijadikan maf’ulun bih dari permainan pihak luar, maka para ulama-kiai NU harus tampil berpolitik serta memberikan makna politik dalam konteks kebangsaan-kenegaraan dimana NU hadir sebagai fa’ilun, seperti yang pernah ditorehkan berdasarkan fakta sejarah bangsa ini.
Ia juga berharap bahwa lahirnya buku ini, dapat memberikan pemahaman juga mengenai slogan yang kerap digaungkan, “Kembali ke Khittah 1926”. Karena selama ini, slogan tersebut hanya tampil sebagai pertarungan antar personal, yang mana tidak menggambarkan sebagai suatu paradigma berpolitik NU, dalam konteks nasional maupun global.
Maka dari itu, perlu adanya perumusan kembali perihal makna politik dan berpolitik NU di perkembangan zaman saat ini.