WALHI Jatim Nilai Misi Hilirisasi Prabowo-Gibran Berbahaya
Gagasan hilirisasi yang digaungkan pasangan Prabowo-Gibran dinilai berbahaya terhadap lingkungan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan mengatakan, gagasan hilirisasi ini dianggap eksploitasi alam yang berlebihan, tanpa memperhitungkan dampak negatif.
"Hilirisasi ini menekankan pengolahan bahan-bahan mentah menjadi bahan jadi. Tapi muatan hilirisasi ini menurut saya sama saja dengan eksploitasi," ungkapnya, Sabtu 27 Januari 2024.
Wahyu mengatakan gagasan hilirisasi tersebut adalah untuk mengolah secara terus-menerus sumber daya alam yang terkandung tanpa memperhatikan batasan dan kajian dampak.
"Pihak-pihak akan mengekstraksi dan mengambil secara besar-besaran sumber daya alam untuk diolah menghasilkan banyak uang. Cara pandang ini cara pandang pembangunan berbasis industri dan berbahaya," tegasnya.
Wahyu menyebut hilirisasi berbasis industri ini berbahaya karena ada tanpa menghitung dampak lingkungan. Kajian-kajian lingkungan yang dilakukan hanya sebatas formalitas tanpa dipakai menjadi pertimbangan dalam eksploitasi sumber daya alam.
"Hilirisasi yang akan dijalankan secara ambisius akan merusak ekosistem, biodiversitas, dan kehidupan masyarakat. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab ketika ini semua rusak?," tuturnya.
Menurut Wahyu, hilirisasi yang berbahaya adalah imajinasi yang dibayangkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi dan pendukungnya, termasuk pasangan calon 02 dengan melakukan eksploitasi bahan tambang secara besar-besaran.
"Misalnya hilirisasi nikel, dengan mengambil secara besar-besaran tentu berdampak pada krisis lingkungan dan masyarakat sekitar," ujarnya.
Contoh hilirisasi nikel di Maluku Utara, ternyata berdampak pada pencemaran laut. Hilirisasi ini menyebabkan 37 sumur resapan air tanah berkurang dan 176 kasus sesak nafas serta 202 penyakit batuk pada masyarakat Banteang, Sulawesi Selatan.
"Hilirisasi bukan solusi untuk menciptakan pengelolaan lingkungan hidup yang berkeadilan. Di Morowali, terjadi kebakaran pabrik pengolah nikel yang menewaskan belasan pekerjanya. Belum juga dampak lingkungan. Lalu di Pulau Obi, tambang nikel merusak air tanah dan laut," ujarnya.
Wahyu mengatakan, dalam 20 tahun terakhir deforestasi terkait penambangan nikel telah mencapai 25 ribu hektare dan akan terus meningkat, mengingat pemberian konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan oleh rezim yang berkuasa terus meluas.
"Dari 1 juta konsesi pertambangan nikel, 765.237 hektare atau 70 persen berada di kawasan hutan lindung, yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2," tambahnya.
Oleh sebab itu, Wahyu mengatakan hilirisasi yang harusnya dilakukan oleh pemimpin di masa depan, sebaiknya tidak berpusat pada bahan-bahan tambang. "Capres-Cawapres harus memprioritaskan hilirisasi untuk komoditas yang minim risiko atau non-tambang," katanya.