Dilematis, Masyarakat Desak Sekolah Tatap Muka Segera Dibuka
Covid-19 dampaknya dirasakan hampir di seluruh sektor. Tidak sebatas bidang kesehatan, ekonomi, sosial, budaya. Sektor pendidikan pun ikut merasakan dampaknya. Apalagi dunia pendidikan satu sisi dipacu untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara lain, di sisi lain pandemi Covid-19 menjadi hambatan yang cukup serius. Kegiatan belajar mengajar harus dilakukan melalui jarak jauh. Alasannya, untuk keselamatan guru dan siswa. Mereka harus diutamakan dari bahaya penularan Covid-19.
Sedangkan saat ini, desakan masyarakat untuk membuka sekolah makin menguat di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di Tanah Air. Sejumlah kepala daerah bahkan telah berkirim surat memohon kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuka sekolah tatap muka. Padahal daerah tersebut masuk kategori zona merah penyebaran Covid-19.
“Keinginan daerah untuk kembali membuka sekolah sangat besar meskipun kepala daerah menyadari masih zona merah,” kata Dr Suhartono Arham, Analis Kebijakan Ahli Madya Ditjen PAUD Dikdasmen, Kemendikbud pada media gathering Forum Wartawan Pendidikan kerjasama dengan Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbud, Minggu 23 Agustus 2020.
Keinginan kepala daerah membuka sekolah tersebut diakui Suhartono, tak lepas dari desakan masyarakat dalam hal ini orang tua. Umumnya, orang tua sudah kerepotan mengawasi anak-anak mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang kini sudah mulai jenuh dan bosan. Selain itu, tugas-tugas yang diberikan guru kepada siswa, sebagian menjadi beban bagi orang tua.
“Tidak semua orang tua menguasai semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Itu mengapa orang tua menjadi kerepotan,” lanjut Suhartono.
Menurutnya, kejenuhan siswa terhadap PJJ ini tak lepas dari kurangnya kreativitas dari guru. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) lebih banyak diberikan dalam bentuk tugas-tugas, seperti mengerjakan soal, membaca teks, membuat video dan lainnya. Model pembelajaran demikian ditemukan hampir di semua mata pelajaran dan hampir semua jenjang pendidikan.
“Coba bayangkan, kalau dalam sehari anak ada tiga atau empat mata pelajaran dan semuanya kasih tugas, tentu anak-anak bosan,” jelasnya.
Karena itulah, kreativitas guru dalam melaksanakan PJJ ini menjadi kunci penting keberhasilan pembelajaran secara daring. Guru tidak semestinya mengambil jalan pintas, jalan paling mudah untuk melaksanakan PJJ, seperti memberikan tugas pada siswa. Jika model PJJ seperti ini terus berlanjut, dipastikan anak akan bosan, jenuh dan pada akhirnya malas untuk mengikuti PJJ.
Suhartono mengakui Kemendikbud dalam tiga hari terakhir ini telah melakukan monitoring ke daerah-daerah zona hijau dan zona kuning yang sudah mulai membuka pembelajaran temu muka (luring). Dari pengamatan di lapangan, semua satuan pendidikan telah menerapkan protokol kesehatan sangat ketat. Mulai dari keharusan siswa mengenakan masker, cuci tangan dan pembatasan jumlah siswa di kelas untuk menerapkan physical distancing.
Sayangnya, meski sekolah telah menerapkan protokol kesehatan sangat ketat, tidak demikian di tengah masyarakat bahkan keluarga. Anak begitu keluar dari pagar sekolah, sudah melepaskan masker dan bermain secara bergerombol.
“Maskernya dimasukkan ke tas, untuk dipakai hari berikutnya. Satu masker kadang dipakai untuk sepekan. Ini jelas berbahaya,” tambah Suhartono.
Karena itu, klaster-klaster penularan Covid-19 antar anak yang semula dicurigai muncul di sekolah, ternyata setelah ditelurusi di lapangan, anak tertular Covid-19 bukan di area sekolah. Hanya saja, meski tertular di luar area sekolah, tetapi karena penularan Covid-19 muncul beriringan dengan kebijakan membuka sekolah, akibatnya sekolah dituding menjadi penyebab munculnya klaster Covid-19 pada anak-anak.
Suhartono mengimbau masyarakat untuk bersama-sama bertanggungjawab mengawasi anak-anak agar menerapkan protokol kesehatan secara ketat di mana pun anak berada. Tanpa peran serta masyarakat, mustahil penularan Covid-19 antar anak bisa dihindari.
Data dari laman Covid19.go.id per 19 Agustus 2020 menyebutkan dari 423.492 satuan pendidikan baik PAUD, SD, SMP, SMA, SMK maupun SLB yang ada di 34 propinsi, tercatat 32.821 satuan pendidikan (8 persen) berada di zona merah, sebanyak 205.154 satuan pendidikan (48 persen) berada di zona orange, sebanyak 151.269 satuan pendidikan (36 persen) berada di zona kuning dan 34.248 satuan pendidikan (8 persen) berada di zona hijau. Total jumlah sekolah yang sudah diizinkan tatap muka sebanyak 185.517 satuan pendidikan atau 44 persen.
Melihat kondisi tersebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan minta kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan di daerah hendaknya berhati-hati dan terus berkoordinasi dengan satuan tugas penanggulan Covid-19 di daerah masing masing. Jangan sampai niat baik untuk melakukan pembelajaran dengan tatap muka berakibat fatal akibat kurangnya disiplin dan lemahnya pengawasan pelaksanaan protokol Covid-19 di lingkungan sekolah.