Dilema Interogasi dan Siksaan
Oleh: Djono W. Oesman
Para terpidana kasus Vina, terkonfirmasi disiksa saat penyidikan awal. Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing kepada wartawan mengatakan: “Itu terkonfirmasi berdasarkan Dit Propam Polda Jawa Barat tahun 2017. Ini pelanggaran HAM.” Pengumuman ini mengagetkan.
—----------
TERDUGA pelaku penyiksaan, menurut Uli, bukan oleh Iptu Rudiana yang melakukan penyidikan awal kasus pembunuhan Vina dan Eky. Melainkan, diduga dilakukan oleh anak buah Rudiana. Bukti bahwa Rudiana tak melakukan penyiksaan, berdasarkan hasil pemeriksaan Dit Propam Polda Jabar tahun 2017 silam.
Uli Parulian: “Anak buah Iptu Rudiana (tak disebut nama) diduga melakukan penyiksaan saat menangkap Eko Ramadani, Eka Sandi, Jaya, Sudirman, Saka Tatal, Supriyanto, Hadi Saputra dan Rivaldi. Itu ketika proses penangkapan, penyelidikan dan menjalani tahanan di Polres Cirebon akhir Agustus sampai awal September 2016.”
Dilanjut: “Polisi (Dit Propam Polda Jabar) telah menggelar sidang etik untuk membuktikan penyiksaan terhadap para terpidana kasus Vina tersebut. Hasilnya, anak buah Iptu Rudiana terbukti melakukan penyiksaan. Pelakunya dijatuhi sanksi tertulis pada April 2017.”
Dijelaskan, penyiksaan terjadi setelah delapan orang itu ditangkap di depan SMP Negeri 11 Cirebon, 31 Agustus 2016 pukul 16.00 WIB, lalu dibawa ke Polres Cirebon.
Padahal, calon tersangka dan tersangka tindak pidana dilarang disiksa untuk mengejar pengakuan bersalah. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998, bahwa penyiksaan (torture) terhaap tersangka atau saksi dalam penyidikan, dilarang.
Dipertegas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) No. 8 Tahun 200. Tentang implementasi standar hak asasi manusia dalam tugas polisi. Diterbitkan Kapolri Bambang Hendarso Danuri, 22 Juni 2009.
Perkapolri itu berisi beberapa hal. Antara lain, Polri harus menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Perkapolri ini pedoman jajaran kepolisian untuk menghormati, melindungi, menegakkan hak asasi manusia. Perkapolri ini langkah maju kepolisian dalam perlindungan, penegakan, dan kemajuan HAM di Indonesia.
Toh, masih ada saja penyiksaan. Penyiksaan bertujuan mendapatkan pengakuan tersangka, banyak terjadi pada perkara pidana yang kurang bukti hukum langsung. Artinya, penyidik mendapatkan bukti hukum tidak langsung. Kurang kuat.
Kalau penyidik punya bukti hukum langsung, tidak perlu lagi menyiksa. Karena tersangka terbukti bersalah. Inilah yang disebut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Scientific Crime Investigation (SCI).
Ini menyangkut introgasi. Tugas polisi mengungkap kejahatan, memeriksa terduga pelaku. Ketika polisi yakin bahwa terduga pelaku adalah pelaku, namun kekurangan bukti hukum langsung, maka wajar jika polisi geregetan. Manusiawi jika polisi kemudian menyiksa terduga pelaku, agar ia mengaku. Tapi, hal itu terbentur peraturan. Dilarang menyiksa.
Dikutip dari buku Torture and Democracy (2009) karya Darius Rejali, menyatakan: Penyiksaan, jarang digunakan penyidik untuk mendapatkan informasi selama interogasi. Tapi itu (penyiksaan) lebih sering digunakan untuk memaksa pengakuan atau mengintimidasi orang.
Interogator perkara pembunuhan di Amerika Serikat (AS) Richard Fallin, diakui para polisi di AS sebagai interogator andal. Ia legendaris. Terduga pembunuh yang benar-benar pembunuh, pasti takluk di hadapan Fallin. Tanpa penyiksaan. Terus... apa saja yang dilakukan Fallin?
Dikutip dari The Washington Post, 12 September 1998, berjudul: You Have the Right to Remain Silent, diungkapkan gaya tipu detektif pembunuhan Fallin saat menggoreng calon tersangka dalam ruang interogasi di kantor polisi.
Ruang interogasi itu ukuran sekitar 5 X 5 meter. Cuma ada satu pintu. Berdinding kelabu, berkesan kemuraman. Di salah satu dindingnya, kaca lebar, satu arah tembus pandang yang memungkinkan para polisi menyaksikan interogasi, sebaliknya dari sisi interogasi berupa cermin.
Pertengahan 1992. Siang. Di kantor polisi Montgomery County. Terduga pembunuh bernama Alan P. Newman duduk di ruang interogasi. Di ruangan itu ada sebuah meja besar dan tiga kursi. Satu kursi tanpa sandaran (Bahasa Surabaya: dingklik) di satu sisi biasa untuk tersangka atau calon tersangka, dua kursi dengan sandaran di sisi seberangnya untuk interogator.
Posisi pintu berada di hadapan tersangka, atau di belakang interogator. Secara simbolis psikologis, calon tersangka yang hendak lolos keluar pintu, harus ‘langkahi dulu mayat’ interogator. Atau dengan kata lain, calon tersangka bisa lolos bebas (berarti tidak bersalah) jika mampu menjawab pertanyaan secara jujur.
Calon tersangka pembunuh, Alan P. Newman duduk di dingklik itu. Wajah sangar itu kelihatan gelisah. Bagai burung liar yang terjebak dalam kurungan. Fallin duduk di seberangnya. Didampingi detektif Craig Wittenberger, sebagai asisten Fallin. Wittenberger membawa setumpuk berkas, ia letakkan di meja.
Di sebelah ruang interogasi, pada ruangan berdinding kaca yang mengarah ke ruang interogasi. Belasan detektif dan polisi menonton proses interogasi. Mereka juga bisa mendengar jelas proses interogasi melalui pengeras suara yang terhubung ke ruang interogasi. Belasan polisi itu kepo, ingin belajar dari teknik Fallin.
Fallin membuka dengan klise. Ia bertanya ke Newman, nama, alamat, pekerjaan, keluarga dan hal-hal sepele lainnya. Pekerjaan Newman adalah tukang memperbaiki rumah (tukang bangunan).
Ternyata, fokus pembicaraan diarahkan Fallin ke teknik memperbaiki rumah. Teman-teman polisi Fallin tahu, bahwa Fallin kalau tidak bertugas, suka memperbaiki rumah sendiri. Bahkan ahli. Punya peralatan tukang lengkap. Itulah topik bicara Fallin dengan calon tersangka pembunuhan tersebut.
Awalnya, wajah Newman yang murung, tampak kaget. Matanya mengamati Fallin seolah tak percaya ia diajak ngobrol soal pertukangan. Tapi karena pembicaraan nyambung dan asyik, Newman jadi tenang. Ia banyak cerita teknik pertukangan.
Mereka ngobrol soal kriteria pondasi bangunan, pilihan bahan untuk dinding, rangkaian tulangan besi sloof, konstruksi atap, bahkan sampai interior yang rumit.
Satu setengah jam mereka ngobrol begitu. Belasan polisi yang menyaksikan sampai kesal. Bosan. Mereka sudah makan, minum, kencing ke toilet, ada yang membaca buku. Menunggu teknik sialan Fallin.
Salah seorang penonton nyeletuk: “Kapan ngomong penembakan? Dasar, Fallin brengsek…”
Tentu saja, tiga orang dalam ruang interogasi yang kedap suara, tak mendengar, bahkan tak tahu ada banyak penonton. Mereka terus asyik bicara bangunan.
Tahu-tahu, Newman menyimpang. Setelah lewat dua jam ia ngobrol. Ia cerita, pernah memperbaiki rumah janda cantik tak punya anak. Cantik gemoy. Newman semangat bekerja gegara sering melihat kecantikan si janda. Malah, Newman sempat pedekate dan dapat sinyal lampu hijau dari si janda. Yes...
“Tapi setelah perbaikan rumah selesai, aku dicampakkan begitu saja. Perempuan anjing itu.” ujar Newman.
Fallin menimpali. Ia bercerita tentang mantan istrinya. Berperangai busuk. Suka belanja menghamburkan uang. Pemabuk. Bahkan, Fallin bilang, ia curiga istrinya selingkuh.
Saat jeda cerita Fallin, Newman menggeram. Tangan kanannya mengepal. Sambil berkata: “Kalau itu istriku, sudah kuledakkan kepala dia.” Kemudian buru-buru ia tutupi dengan kalimat: “Tapi, kalau seandainya aku bisa lolos dari hukum.”
Para penonton tersentak. Kaget. Sebagian mendekati kaca, ingin mengamati ekspresi Newman juga Fallin. Seorang polisi bertanya retorik: “Gila…. Apa yang Fallin lakukan?”
Polisi lain berkata: “Itulah teknik getting down and dirty. Itulah teknik andalan Fallin.”
Di ruang interogasi, Fallin berdiri. Berjalan mondar-mandir. Tersenyum lebar pada Newman. Seolah memuji kejantanan Newman. Tiba-tiba, menukik dengan pertanyaan:
“Mengapa kamu tidak meminjamkan senjatamu padaku?”
Newman tertawa terbahak. Tawa bangga. Karena melihat Fallin yang culun.
Seketika, Fallin membahas wanita yang mati ditembak dua kali di kepala oleh si pembunuh saat pembajakan mobil di Bethesda. Inilah pokok perkara.
Fallin menunjuk ke tumpukan berkas di meja: “Lihat, wanita di sana itu, apa yang terjadi? Apakah dia memukul? Apakah dia menamparmu? Apakah pistolmu meledak secara tidak sengaja? Atau apa?”
Newman terkesiap. Tawanya padam seketika. Garing. Hening sejenak.
Fallin: “Kamu tahu? Saya harus punya alasan yang kuat untuk memberi tahu orang-orang, kalau seandainya kamu menembak tidak sengaja. Supaya aku bisa berkata ke mereka, bahwa oleh sebab itulah kamu melakukan.”
“Dia berteriak... Wanita jalang itu tidak mau diam. Bangsat.”
"Kamu bercanda? Aku tidak menyalahkanmu. Aku paling benci kalau wanita jalang mulai membuka mulut mereka.”
“Dia tidak mau diam. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan.”
"Sssst…" desis para penonton di ruang sebelah. Mereka merapat ke kaca. Menggumpal berdebar. Ada yang berbisik pelan: "Ayo... Fallin…."
Sayangnya, Fallin sama sekali datar. Flat. Tanpa ekspresi. Ia mengatakan dengan nada rendah:
“Aku mengerti itu.”
“Aku menembaknya tepat di mulutnya.”
“Aku yakin itu pasti membungkamnya.”
“Memang. Itu membuat dia diam. Saya jamin itu membungkamnya. Anjing kurap itu.”
“Tapi kamu menembaknya dua kali.”
“Ya, karena dia pindah posisi, dan saya pikir dia masih hidup, dan saya tidak ingin dia menderita, Bung.”
Gemuruh sorak belasan polisi di ruang sebelah, tak terdengar di ruang interogasi. Belasan polisi melongo. Heran, begitu gampangnya Fallin membuka mulut si pembunuh.
Jam menunjukkan waktu: tiga jam lewat sedikit, proses interogasi sejak Fallin masuk ruangan sampai pengakuan Newman.
Ketika Fallin menyodorkan berkas (semacam BAP di Indonesia) agar Newman tanda tangan, kini Newman tercengang. Melotot. Beberapa menit ia cuma memandangi berkas itu. Diam tak berkata.
Fallin: “Sudahlah kawanku… tanda tangan saja. Kamu pria jantan yang hebat.”
Newman tanda tangan. Interogasi selesai. Belasan polisi bersorak-sorak. Joget-joget. Dua polisi tinggi besar masuk ruang interogasi, memborgol Newman. Krek… Menggiringnya keluar, menuju ruang jeruji besi. Newman akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Kisah itu nyata di sana. Fallin kini sudah pensiun polisi. Membuka kantor detektif swasta. Kadang ia masih dimintai tolong polisi untuk interogasi, khususnya pembunuhan rumit. Para polisi di sana tahu, saat interogasi Fallin suka berbohong: Soal istrinya yang brengsek-lah, atau anak-anaknya yang pecandu narkoba.
Semua itu bohong. Tipuan. Dan, Mahkamah Agung Amerika membolehkan polisi bohong saat interogasi penjahat.
Kisah itu cuma contoh teknik interogasi. Yang tidak perlu menyakiti orang.
*) Penulis Wartawan Senior