Dilelang Rp125 Juta, Begini Kisah Istimewa Sorban Ma’ruf Amin
Ma'ruf Amin hadir dalam konser Nasyid dan Salawat untuk Bangsa. Acara digelar Arus Baru Indonesia ini menggalang dana bagi korban gempa dan tsunami di Lombok dan Sulawesi Tengah.
Dalam acara diadakan Istora Senayan Jakarta ini, Sabtu 20 Oktober, sorban yang dikenakan Ma'ruf Amin terjual seharga Rp 125 juta. Kiai yang mantan Rais Am PBNU in I, berpesan agar Arus Baru Indonesia fokus pada kegiatan ekonomi dan pengembangan manusia.
Kiai Ma'ruf Amin, panggilan akrabnya di kalangan pesantren, bertutur soal sorbannya itu.Sorban tersebut selalu ia pakai dalam momen-momen penting seperti bertemu sejumlah Presiden dan Wakil Presiden RI, ulama besar, dan juga bersaksi di pengadilan.
"Ada sejarahnya. Sudah lama sekali, lupa tahun berapa," kata Ma'ruf. "Dan ini kan acara festival konser ini 'kan Nasyid dan Salawat. Tujuannya mencari dana untuk menyumbang korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Dan juga untuk membangun keutuhan bangsa," lanjut dia.
"Awalnya, lelang sorban Ma'ruf dibuka dengan harga Rp 30 juta. Pada penawaran terakhir, sorban Ma'ruf dibeli dengan harga Rp 125 juta oleh salah seorang pengunjung Nasith Majidi. Nasith membeli sorban berwarna dasar abu-abu itu karena uang penjualannya disumbangkan untuk membantu korban bencana."
Awalnya, lelang sorban Ma'ruf dibuka dengan harga Rp 30 juta. Pada penawaran terakhir, sorban Ma'ruf dibeli dengan harga Rp 125 juta oleh salah seorang pengunjung Nasith Majidi. Nasith membeli sorban berwarna dasar abu-abu itu karena uang penjualannya disumbangkan untuk membantu korban bencana. "Ini kan buat korban palu, untuk kemanusiaan. Untuk penanggulangan. Bukan buat kita semua," kata Nasith.
Sebelumnya, Ma'ruf Amin mengatakan, santri zaman sekarang harus terus meningkatkan kapasitas personal. Tidak hanya belajar Al-Quran dan Kitab Kuning, seorang santri juga harus mempelajari ilmu lain yang bermanfaat bagi manusia. Demikian diungkapkan saat menghadiri peringatan Hari Santri Nasional ke-2 bersama ulama se-Madura di Pondok Pesantren Hidayatulloh Al Muhajirin, Arosbaya, Bangkalan Madura, Jumat 19 Oktober.
"Santri sekarang harus melengkapi diri melawan isu-isu yang ada agar dapat menangkap berita miring dan hoaks. Jadi, tidak hanya mampu membaca Al-Quran dan menulis serta membaca Kitab Kuning," ujar Ma'ruf.
Beberapa ilmu lain yang bisa didalami antara lain ilmu ekonomi, kebudayaan, dan digital. "Karena apa? Karena diharapkan santri ke depan memberikan jalan keluar atas kondisi saat ini, problem yang terjadi kini. Harus diakui, santri sekarang menghadapi tantangan lebih berat. Harus menguasai digital untuk menghadapi tantangan global. Termasuk belajar ilmu siasat ekonomi dan kebudayaan," ujar Ma'ruf.
Dalam pidatonya, Ma'ruf mengingatkan, santri zaman sekarang tidak boleh lupa dengan sejarah Hari Santri Nasional. Ma'ruf mengatakan, perjuangan santri sudah ada sejak zaman penjajahan. Bersama para pejuang dan pendahulu bangsa, para santri di Indonesia, di Jawa khususnya, sudah berjuang di bawah kepemimpinan Hadratusyeikh Hasyim Ashari.
Ma'ruf menyebutkan, salah satu momentum yang paling monumental adalah Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Menurut Ma'ruf, banyak yang melupakan momen itu. Peristiwa itu kembali diingat saat Presiden Joko Widodo menjadikan tanggal itu sebagai Hari Santri Nasional.
"Ini menjadi kebanggaan santri dan ulama berkat Pak Joko Widodo," ujar Ma'ruf. (adi)
Advertisement