Dilarang Minta Tolong
Jerit petani siapa lagi mau mendengar? Ketika petani kesulitan pupuk dan tersedia dengan harga tinggi, siapa lagi mau peduli? Ketika petani-peternak kesulitan beli jagung dengan harga tinggi, siapa lagi mau perhatian?
Ketika petani jagung panen dan ternyata ditebas tengkulak dengan harga rendah, siapa mau tahu? Ketika petani cabai menuai panen dan harga anjlok di pasaran, adakah regulasi?
Ketika petani panen padi, ternyata harga gabah dinilai rendah, sedang harga beras di pasar-pasar swalayan tetaplah tak turun, siapa mau mengatur?
Ketika pemerintah menginginkan swasembada pertanian, ternyata para politikus bergegas cari komisi dari barang impor: daging sapi, beras, kedelai, ... dan seterusnya.
Sederet tanya itu melambung ke langit lantaran para penggede di negeri ini menutup pintu pendengarannya. Jeritan itu pun menguap di udara, tanpa sisi, lantaran suara kaum lemah semakin tak bermakna.
Tapi, adakah yang lemah di negeri ini? Oh, tidak ada. Buktinya rakyat adalah orang-orang kuat -- demikian petani di dalamnya, yang tahan menderita. Dalam situasi apa pun mereka tetap menanam di sawah, tetap setia memelihara hewan ternak. Ya, mereka tetap beternak. Mereka tetap menyemai benih padi, meskipun hasil panen puso atau diterjang habis banjir dan serangan tikus ganas.
Suara-Suara Rakyat
Kita teringat kembali Hartojo Andangdjaja yang berteriak dalam diam:
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap daro cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
rakyat ialah tangan yang bekerja
Daya tahan kekuatan rakyat itu pun diusik dengan sistem yang berproses pelahan melemahkannya. Dari proses itulah mengubah kekuatan menjadi posisi yang lemah. Merekalah yang dilemahkan dalam satu sitem yang tak teraba di negeri ini. Adakah yang tahu betapa merekalah orang-orang lemah dan dilemahkah itu?
Seorang presiden berkunjung ke suatu daerah. Dari mobilnya, ia melempar kaos ke deretan orang yang mengelu-elukannya. Ia melempar sebungkus sembako kepada kerumunan orang-orang yang dilaluinya. Ia pun melempar dengan bahagia karena rakyat ternyata menyambutnya dengan riang. Oh, mereka adalah orang-orang yang patut dikasihani, barangkali begitu gumamnya.
Seorang pejabat suka blusukan, suka berkunjung ke lorong-lorong rakyat. Adakah suatu ikhtiar untuk mengetahui denyut-nadi derita rakyat?
Kita cuma bisa melempar tanya ke udara. Atau mungkin bisa melambungkan tanya itu bersama doa-doa ke langit... agar didengar Tuhan. Benarkah para penggede di negeri ini telah bungkam dari kenyataan sesungguhnya.
Ketika Presiden -- konon berangkat dari rakyat sebelum duduk di kursi kekuasaan -- berkunjung ke Blitar, kita menyaksikan seorang membentangkan poster bertuliskan "Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan harga Wajar". Poster itu dibentangkan ketika Jokowi melempar senyum dan lambaikan tangan ke arah warga. Tak lama kemudian, poster itu dirampas. Seorang polisi menangkap lelaki yang membentangkan poster itu dan menggiring ke mobil polisi.
Ironi-ironi Sekitar Jokowi
Kita pun menyaksikan ironi. Seseorang yang dikenal merakyat, ternyata justru tak boleh mendengar suara rakyatnya. Ironi justru karena terjadi ketika presiden berjalan meninggalkan Makam Bung Karno -- salah seorang Proklamator yang dicintai rakyat itu.
Kita tahu, di makam itu, Presiden Jokowi terlihat khusyuk saat berziarah seorang diri tanpa didampingi sejumlah pejabat. Apakah karena khusuk saat berziarah, sehingga ia tak boleh tahu jeritan rakyat?
Di masa lalu, rakyat bisa berbicara di depan presiden. Penguasa Orde Baru, misalnya, justru membikin forum Klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa) untuk para petani berbicara: meskipun yang terungkap justru keberhasilan-keberhasilan para petani itu.
Aparat negara adalah bagian dari sistem pemerintah di negeri ini. Apara itu pula sukses membungkam para pengkritik pemerintah. Aparat itulah yang menghapus paksa mural "Jokowi 404: Not Found" hingga mengadang demonstrasi mahasiswa. Ironi karena semua itu terjadi saat Presiden Joko Widodo menyatakan terbuka terhadap kritik.
Adakah mural berwajah Jokowi di Kota Tangerang bertuliskan "404 Not Found" menghina simbol negara hingga harus dihapus aparat? Polisi bergegas menangkap sejumlah saksi terkait "gambar di tembok" itu. Aparat pun sempat menangkap dan memeriksa tukang sablon di Tuban, saar menawarkan jasa cetak kaus "Jokowi 404:Not Found". Polisi pun menyebut penangkapan terhadap tukang sablon dilatari unggahannya di media sosial yang dianggap menghina Polri dan institusi pengadilan.
"Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit"! Begitu bunyi mural di Bangil, Kabupaten Pasuruan, yang kemudian dihapus aparat karena dianggap melanggar ketertiban umum. Rakyat harus jadi warga negara yang baik. Tidak berteriak, tidak bersuara, apalagi menulis dengan kata-kata "Wabah Sesungguhnya adalah Kepalaparan". Maka, rakyat pun tak usah terkejut apalagi pingsan bila tiba-tiba mural tertulis demikian dihapus. Petugas pun mengklaim memang permintaan warga. Ya, demikianlah adanya.
Kita dilarang minta tolong kepada penguasa. Kita dilarang minta tolong kepada presiden. Kita tak boleh minta tolong kepala siapa pun, di negeri ini karena kita adalah rakyat.
Lagi-lagi kata-kata Hartojo Andangdjaja mengalun: //Rakyat ialah kita/darah di tubuh bangsa/debar sepanjang masa//
Adakah para penggede di negeri ini sedang memberi pelajaran pada rakyat, seraya ikut menjadi juru dakwah: Sebaiknya berhamba sepenuhnya pada Allah Ta'ala. Tapi, bukankah kalimat terakhir tidaklah pantas dalam cara pandang kerakyatan, kecuali bagi para pengamal tasawuf -- dimensi esoteris terdalam ajaran agama. Ah, kita agaknya sedang merancukan suatu permasalahan. (Riadi Ngasiran)