Dilarang Dekat-dekat Presiden, Tiga Lelucon Jelang Muktamar NU
Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama akan berlangsung di Lampung, 23-25 Desember 2021. Inilah perhelatan warga Nahdliyin di masa pandemi Covid-19, dilakukan secara hybrid (luring dan daring).
Seolah perhelatan hanya memiih ketua umum PBNU, maka para pendukung calon ketua umum PBNU berusaha menarik perhatian. Pelbagai cara dilakukan, menggelar konferensi pers, survei dan menggalang dukungan ke daerah.
Panorama yang berbeda dengan itu, berikut anekdot khas santri dan kiai pesantren terkait perhelatan akbar ormas Islam terbesar di dunia. Tentu saja, selalu lelucon ini dinisbahkan pada sosok Kiai Abdurrahman Wahid.
1. Dilarang Dekat-dekat Presiden
Pada Muktamar ke-29 NU tahun 1994 di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, KH Abdurrahman Wahid menghadapi problem yang berbeda dibanding sebelummya. Ia kebetulan sedang tidak disukai oleh Presiden Soeharto, lantaran Gus Dur suka melontarkan kritik dan menentang rezim otoriternya.
Penyebab lain, seperti ditulis Adam Swarcht dalam bukunya Waiting fot Nation, Gus Dur menilai Pak Harto “bodoh” sehingga ketika Muktamar dibuka, Gus Dur tak boleh duduk mendampingi Pak Harto.
Gus Dur disingkirkan ke deretan kursi paling belakang Bersama Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI) ketika itu. Tokoh-tokoh yang mendampingi Pak Harto hanya KH Ilyas Ruchiyat dan Rozy Munir.
Begitu pula setelah acara pembukaan selesai dan Pak Harto istirahat di aula STAI Cipasung diiringi Kiai Ilyas Ruchiyat, Gus Dur tidak boleh masuk, melainkan berdiri saja di halaman.
Seketika itu para wartawan langsung mengerubungi Gus Dur sambil bertanya, “Gus, nggak boleh dekat-dekat presiden ya?”
“Ah, nggak masalah,” jawab Gus Dur cuek.
“Nggak masalah bagaimana, Gus?” tanya wartawan menimpali.
“Daripada memikirkan ingin dekat-dekat presiden, lebih baik jadi presiden sekalian nanti,” ucap Gus Dur mantap.
Selorohan Gus Dur menjadi kenyataan, lima tahun kemudian yaitu pada 1999, secara demokratis, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI. (Sumber: buku “Gus Dur Menertawakan NU”, 2010)
2. Jago Tua Bikin Ketawa
Menjelang Muktamar ke-29 NU tahun 1994 di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Gus Dur berpikir keras. Mengatur strategi. KH Munasir Mojokerto akhirnya ditunjuk sebagai ketua panitia. Strategi Gus Dur tentu saja untuk menghadapi politik Soeharto yang hendak mencampuri demokrasi di tubuh NU dalam pemilihan ketua umum.
Saat Gus Dur sowan ke kediamannya, awalnya Kiai Munasir berpikir Gus Dur akan menjadikan dirinya sebagai bagian dari penasihat. Tetapi ternyata Gus Dur menjadikannya ketua panitia muktamar. Ia pun ragu karena kondisinya yang sudah cukup sepuh, sama seperti Soeharto.
Tapi sebagai bekas seorang panglima, Kiai Munasir tahu maksud Gus Dur. Sebagai seorang prajurit, ia tahu bahwa ini perintah yang harus dijalankan. Kala itu, Soeharto berusaha menghalangi Gus Dur untuk maju.
Hingga pada pembukaan saat Soeharto pidato, Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU oleh protokoler tidak diberi tempat duduk di kursi kehormatan para tamu. Akhirnya Gus Dur duduk di belakang bersama Muktamirin, sementara pimpinan NU yang lain Bersama undangan di depan.
Saat memberikan sambutan, Kiai Munasir yang juga sebagai Ketua Legiun Veteran atau seniornya Soeharto mengatakan dengan lantang:
“Mohon maaf para hadirin semuanya kalau pelayanan muktamar ini banyak kekurangan. Soalnya ketua muktamar ini sudah sangat tua, sehingga tidak bisa memberikan yang terbaik untuk para Muktamirin dan undangan sekalian,” ucap Kiai Munasir.
Kiai Munasir melanjutkan, “Karena itu, janganlah memiliki ketua orang yang sudah tua renta seperti sekarang, banyak generasi muda yang lebih enerjik, lebih kreatif yang tahu aspirasi Muktamirin, tidak seperti saya yang tidak bisa berbuat apa-apa.”
Seketika seluruh Muktamirin bersorak. Karena mereka paham, kepada siapa sindiran tersebut dialamatkan. Gus Dur hanya mengangguk-angguk karena jago tuanya telah mengkritik Soeharto.
(Sumber: Abdul Mun’im DZ, buku “Fragmen Sejarah NU”, 2017)
3. Terlambat Dicabut
Saat Gus Dur sedang diopname karena stroke di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, salah seorang sahabat ada yang menjenguk Presiden keempat Republik Indonesia itu.
Saat masuk ke ruangan, ia melihat Gus Dur sedang berbaring miring karena belum boleh duduk. Dengan sembari melemparkan senyum, sang sahabat itu perlahan mendekati dan menyalami Gus Dur. Lalu, ia mengucapkan permintaan maaf kepada Gus Dur. Sebab baru hari itu ia bisa menjenguk Ketua Umum PBNU masa khidmat 1984-2000 itu.
“Saya sakit gigi berat, Gus,” kata sahabat Gus Dur itu setelah memohon maaf sedalam-dalamnya.
Gus Dur tentu saja memberikan maaf yang tulus. Mendengar alasan sahabatnya yang sakit gigi, keisengan Gus Dur muncul. Ia memberikan pertanyaan tebak-tebakan. “Sampean tahu nggak apa yang menyebabkan sakit gigi?” tanya Gus Dur.
“Tidak, Gus,” jawab si sahabat dengan sangat singkat tapi dengan raut wajah yang penasaran.
Dengan santai, Gus Dur memberikan kisi-kisi agar bisa terjawab oleh sahabatnya itu. Kata Gus Dur, “Penyebab sakit gigi itu sama dengan penyebab orang hamil dan rumput yang tumbuh tinggi.”
Mendengar kisi-kisi tersebut, sang sahabat malah melongo kebingungan. Namun akhirnya Gus Dur menjawab teka-tekinya sendiri. “Yaitu sama-sama terlambat dicabut,” ujarnya disambut gelak tawa sahabatnya itu.
(Sumber: buku "Koleksi Humor Gus Dur" karya Guntur Wiguna, 2010)