Dikritik Penuh Sinis, Mu’ti: Ini Tantangan Ulama MuhammadiyahÂ
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengungkapkan, tentang tantangan ulama Muhammadiyah di zaman yang serba terbuka.
“Sering ada kritik terhadap Muhammadiyah yang saya kira kita semuanya mengikuti dengan seksama kritik-kritik tersebut. Sebagian adalah kritik yang konstruktif, yang memang disampaikan secara tulus. Sebagian dari kritik itu memang ada kritik yang sinis, yang tidak subtantif.
"Tetapi apapun itu tentu kita perlu berjiwa besar dan mendengarkan kritik itu sebagai upaya kita untuk meningkatkan kualitas diri kita pribadi dan kualitas Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah sebagai institusi,” kata Mu''ti, dalam keterangan Selasa 1 September 2020.
Mu’ti mengatakan, adanya kritik menunjukkan bahwa masih ada yang memerhatikan gerak langkah Muhammadiyah. Di antara kritik konstruktif yang sangat sering dilontarkan adalah langkanya keberadaan ulama di Muhammadiyah. Tidak hanya itu, ulama Muhammadiyah juga langka yang mampu membaca dan memahami kitab-kitab kuning.
“Ada seorang kawan yang agak sinis mengatakan kalau di Muhammadiyah itu mencari ilmuwan itu luarbiasa, mudah sekali, dan jumlahnya ribuan. Mencari profesor di Muhammadiyah juga mudah. Tentu kritik ini juga menjadi bagi catatan kita. Tetapi satu yang membuat saya tersentak ketika ada yang bilang di Muhammadiyah itu susah mencari orang yang pandai membaca kitab-kitab klasik, kitab-kitab kuning,” tutur Mu’ti.
Mu’ti menerangkan, kiai di Muhammadiyah bukan berarti keris atau bentuk-bentuk yang bersifat mistis, tetapi orang-orang yang alim, rasikhuna fi al-‘ilm, dan faqih. Dengan sederet sifat-sifat ulama tersebut, Mu’ti juga menyampaikan bahwa krisis ulama tidak hanya terjadi di Muhammadiyah tetapi juga pada ormas lain.
Sebelumnya, Guru Besar Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini mengungkapkan hal itu, saat sambutan dalam acara Resepsi Milad Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Ke-54. Dalam acara yang diselenggarakan secara daring pada Senin 31 Agustus 2020.
“Saya banyak bergaul dengan saudara-saudara kita kalangan Nahdliyin mereka juga mengeluhkan masalah yang sama. Kelangkaan ulama ini menjadi persoalan yang serius dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan kita,” ujarnya.
Kemudian Mu’ti mengutip dua buku yang menerangkan tentang zaman yang segalanya terkoneksi secara luas dan cepat, namun rnyatanya kemampuan nalar manusia semakin tak berilmu.
Buku tersebut adalah The Death of Expertise karya Thomas M. Nichols yang menjelaskan tentang keruntuhan otoritas keilmuan lantaran masyarakat berubah dalam mencerna informasi.
“Sekarang ini orang belajar agama itu tidak tanya kepada ulama yang menguasai pengetahuan agama tetapi mungkin mereka belajar agama pada ustaz yang populer di dunia maya.
"Mereka itu mengamalkan prinsip ballighu ‘annii wa law ayat. Tetapi memang dalam kenyataannya mereka ini betul-betul hanya menguasai ayat-ayat dan hadis-hadits yang sangat terbatas lalu berani memberikan fatwa,” terang Mu’ti.
Buku yang lain judulnya A World without Mind karya Franklin Foer. Dalam realitasnya, kata Mu’ti, dapat disaksikan bahwa para pakar telah kehilangan nyawa lantaran mereka tidak begitu populer sehingga yang diikuti oleh masyarakat adalah mereka yang menguasai dunia maya. Banyak masyarakat yang akhirnya lari ke Internet lalu tak mampu membedakan informasi sumir dan kredibel.
“Inilah saya kira sebagai renungan awal walaupun kita tidak boleh menyerah dan mengalah dengan keadaan itu karena kita menganggap semua itu sebagai sebuah tantangan dan tanggungjawab untuk bisa mengisi dan memenangkan pertarungan wacana di tengah dunia yang sangat terbuka,” tegas Mu’ti.
Karenanya kritik-kritik yang disampaikan kepada Muhammadiyah, bagi Mu’ti, tidak perlu dinegasikan atau menolak, tetapi harus dilakukan dengan jalan muhasabah. Betapa pun wacana-wacana yang dilontarkan Muhammadiyah begitu luarbiasa, namun akan selalu tenggelam dengan konten dan narasi-narasi yang populis. Karenanya Mu’ti mengajak untuk mengisi kekosongan ruang tersebut.
“Fikih Muhammadiyah itu luarbiasa maju. Buku-buku yang diterbitkan Majelis Tarjih sering saya bagikan kepada tamu-tamu yang berkunjung ke PP Muhammadiyah. Mereka mengapresiasi dengan sangat luarbiasa. Fikih Bencana yang disusun para ulama Muhammadiyah itu adalah fikih pertama yang sangat komprehensif menunjukkan betapa Muhammadiyah ini adalah organisasi yang berkemajuan,” tutur Mu’ti.
Karenanya faktor yang paling penting dalam agenda Muhammadiyah ke depan adalah menjawab tantangan dunia yang serba terbuka ini. Sosialisasi dan masifikasi gagasan-gagasan Muhammadiyah yang berkemajuan harus menjadi agenda kerja utama. Mu’ti menyayangkan apabila wacana berkemajuan harus tertutup karena kalah viral di dunia maya.
“Alhamdulilah pada masa-masa Covid-19 ini kita mulai bangkit. Fatwa-fatwa ulama Muhammadiyah tentang berbagai tuntunan ibadah mulai banyak dikutip dan diakui serta mendapatkan apresiasi yang luarbiasa dari berbagai kalangan. Apresiasi itu datang karena Muhammadiyah mampu mengurai masalah tidak hanya melalui dalil-dalil naqliyah tetapi juga dengan pembuktian aqliyah dan ilmiah. Di sinilah Muhammadiyah terlihat mampu menyandingkan serta mengintegrasikan antara Islam dan ilmu pengetahuan,” ujarnya, seperti dilansir muhammadiyah.or.id.