Dikritik Aktivis Soal Bullying, Ini Jawaban Ganjar
Para aktivis advokasi difabel dibuat terkejut oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam menanggapi keluhan mereka terkait kasus bullying terhadap salah satu siswi SMP swasta di Purworejo. Mulanya para aktivis tersebut mengunggah uneg-unegnya terkait nasib siswi yang juga berkebutuhan khusus itu di media sosial, namun tidak selang berapa lama mereka langsung dihubungi dan diajak Ganjar turut menyelesaikan persoalan.
Persoalan perundungan siswi tersebut telah dibawa ke ranah hukum. Ketiga tersangka dijerat dengan UU Perlindungan Anak Pasal 76c, yaitu tentang tindak kekerasan terhadap anak. Adapun pidana yang disangkakan Pasal 80 dengan ancaman hukuman 3 tahun 6 bulan.
Di sisi lain, siswi korban perundungan yang juga berkebutuhan khusus itu mengalami trauma, bahkan enggan ke sekolah. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo lantas merayu agar siswi tersebut berkenan pindah ke sekolah inklusif yang menunjang para difabel. Salah satu yang diajukan Ganjar adalah Sekolah Luar Biasa di Purworejo.
"Rayuan kita kepada si anak ini, sampai tadi malam Insyaallah berhasil. Saya ingin karena dia berkebutuhan khusus maka sekolahnya di tempat yang bisa memfasilitasi itu," kata Ganjar.
Membaca pernyataan gubernur berambut putih itu para aktivis difabel langsung angkat suara. Mereka menolak jika Sekolah Luar Biasa dimasukkan dalam daftar untuk menerima siswi korban perundungan itu. Bahkan Arif Maftuhin, pemimpin Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta menulis surat terbuka di website pribadinya yang ditujukan kepada Ganjar Pranowo.
Menurut Maftuhin, memasukkan siswi berkebutuhan khusus ke SLB bukanlah solusi terbaik. Bahkan dia menganalogikan dengan perempuan korban pemerkosaan yang dituntut mengenakan pakaian tertutup. Sudah jadi korban, masih pula disalahkan.
"Anak itu harus dipindah ke SMP Negeri. Kalau SMP Negeri tidak siap menerima difabel, ya keterlaluan. Soal SMP Negeri di Butuh yang mungkin belum inklusif, maka tugas semua pihak untuk membuatnya menjadi inklusif. Inklusif itu harus menjadi ruh pendidikan di mana pun, apalagi di sekolah negeri," tulis Maftuhin di suratnya yang diunggah pada Sabtu (15/2) kemarin.
Surat terbuka itu ternyata langsung mendapat respon dari Ganjar Pranowo. Hal itu tampak dari unggahan di akun Facebook milik Maftuhin, Arif Maftuhin. Dalam status di akun medsosnya itu, Maftuhin mengatakan mendapat telpon dari Ganjar dua kali. Pertama pukul 12 tengah malam, dan karena tidak mendapat respon Ganjar kembali menelpon pagi harinya, Minggu (16/2).
"Lur. Surat terbuka saya untuk Pak Ganjar sudah dibalas. Kontan, hanya selang dua jam dari publikasi, Pak Ganjar nelpon saya. Tetapi saya sudah tidur. Siapa mengira jam 12:00 malam Pak Gub kersa (berkenan) nelpon. Kemudian tadi pagi menelpon lagi. Lama sekali kami ngobrol. Sampai saya hampir lupa kalau yang nelpon saya itu "Ndoro" Gubernur. Dua jam kemudian, atas perintah beliau juga, Kadisdikbud Jateng menelpon saya. Kami diskusikan apa yang bisa dan perlu dilakukan di Purworejo. Saya bukan warga Jateng, tetapi Jateng itu rumah kedua saya, rumah mertua saya, jadi saya akan nyumbang sebisa saya. Gitu dulu. Besok saya cerita lagi," tulisnya.
Sebelum Maftuhin, aktivis difabel dari Semarang ,Yuktiasih Probirini juga menyuarakan penolakannya. Selain menulis status di media sosial dan menandai akun Ganjar Pranowo, dia juga mengirim pesan langsung ke nomor pribadi Ganjar. Lagi-lagi, dia mengunggah komunikasinya dengan Ganjar di media sosial.
"Kami dialog lewat WA, kemudian Mas @ganjar_pranowo menelpon saya. Penugasan yang diberikan kepadaku dan kawan-kawan aktivis advokasi adalah datang ke Purworejo, meneliti dan melakukan advokasi di sana. Koordinasi dengan aktivis disabilitas sudah kulakukan. Insyaallah pekan depan kami bergerak. Untuk apa? Untuk menuju Indonesia lebih baik dan ramah disabilitas. Bismillah," tulisnya.