Diisukan Sebarkan Penyakit, Terompet Tahun Baru Kurang Diminati
Setiap menjelang tahun baru, pedagang trompet berbahan kertas biasanya berjajar di pinggir sepanjang jalan raya Jakarta, bahkan tak sedikit yang keluar-masuk kampung.
Sambil bertet tet...tetet mereka menjajakan trompetnya. Tapi pemandangan seperti itu nyaris tak terlihat di Jakarta hingga beberapa jam menjelang tahun baru tiba. Kondisi ini berbeda dengan tahun sebelumnya.
Padahal, larangan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI saat ini hanya membunyikan petasan, bukan meniup trompet. Tapi justru pedagang terompet seakan menghilang di Jakarta. Keruan saja pertanyaan pun muncul di benak banyak orang.
Ada yang mengira trauma dengan cuaca buruk yang tahun lalu sempat melumat terompet mereka, atau kalah bersaing dengan terompet yang terbuat dari bahan plastik, yang kualitasnya lebih kuat dan bisa bertahan lebih lama.
Seorang pedagang terompet di Pasar Slipi, Supriana, mengatakan, pemasok terompet di Cirebon kali ini absen, tidak memproduksi terompet lagi.
Alasannya takut dagangannga tidak laku. Selain dipengarhui cuaca, terompetnya terus terdesak terompet plastik yang dijual di pusat perbelanjaan.
Terompet yang dijualnya sekarang merupakan sisa dari tahun lalu, yang tidak laku dijual."Tidak ada yang baru, ini menghabiskan sisa tahun lalu," kata Supriana.
Disamping faktor alam dan pukulan terompet plastik, ada alasan lain yang membuat trompet berbahan kertas di pinggir jalan tidak diminati. Yakni isu yang menyebutkan bahwa terompet kertas rentan dengan penyebaran penyakit menular yang kemungkinan diderita oleh pedagangnya maupun pembeli lain yang pernah mencobanya.
Karena pada umumnya, sebelum terompet dijual, pasti dicoba dulu dengan ditiup melalui mulutnya."Liur yang menempel di ujung terompet itu bisa menularkan penyakit," katanya.
Isu itu menyebar di media sosial dan direspon oleh masyarakat. "Inilah akibatnya, perajin terompet enggan memproduksi terompet lagi karena takut rugi." Kata Supriana.
Anggie adalah salah seorang ibu yang mempercayai isu terompet tiup rentan dengan penularan penyakit. Karena itu, dia melarang anaknya semata wayang, Kenes, membeli trompet.
"Sekarang banyak yang beralih ke trompet gas. Awet, bunyinya keras dan tidak berdampak apapun, mekipun harganya lebih mahal," ujar Anggie. Ia juga membandingkan dengan harga terompet kertas yang hanya Rp 7.500 per biji, sedang terompet plastik berkisar Rp 15.000 sampai Rp 25.000.
Advertisement