Digoreng Benci Jokowi, Yudi Latif Klarifikasi
Menjelang pemilihan presiden 2019, setiap hal bisa digoreng untuk menjatuhkan lawan. Ini sekarang menimpa Dr Yudi Latif, akademisi yang belum lama mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Belakangan beredar sirkuler seakan-akan ia menyerang balik Presiden Joko Widodo. "Belakangan ini beredar sirkuler yang menyebutkan nama saya dan tulisan saya dengan framing politik tingkat tinggi," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Ngopibareng.id, Sabtu (1/9/2018).
Berikut klarifikasi tertulis dari Yudi Latif itu secara lengkap:
Belakangan ini beredar sirkuler yang menyebutkan nama saya dan tulisan saya dengan framing politik tingkat tinggi
Pertama, ada sirkuler yang menyebutkan bahwa saya akan menjadi pembicara dalam Road Show GSI (Gerakan Selamatkan Indonesia).
Klarifikasi:
Saya tidak pernah dikontak dan/atau diminta persetujuan panitia untuk kepentingan acara ini. Alhasil, tidak tahu menahu dan tidak bertanggung jawab soal acara ini.
Kedua, beredar tulisan yang mengatasnamakan saya dengan berbagai versi judul. Antara lain: Jokowi Membawa Arus Besar Anti-Intelektualisme, Analisa Yudi Latief, Puisi Zaman Keraguan, Serangan Balik Yudi Latif, tanpa menyebutkan sumber otentik dan tanggal pemuatan dari tulisan tersebut. Tulisan tersebut juga ada yang merupakan fragmen tulisan dengan tambahan komentar, ada pula versi yang lengkap dengan judul yang sudah diubah.
Klarifikasi:
Tulisan dengan beragam judul dan versi tersebut sebenarnya bersumber dari tulisan saya berjudul "Negara Sengkarut Pikir". Tulisan ini dimuat oleh Harian Kompas, 2 Februari 2015. Itulah satu-satunya media yang saya kirimi artikel tersebut, dan setelah itu tak satupun ada media yang saya kirimi lagi.
Dengan demikian, tulisan tersebut sudah dipublikasikan jauh sebelum musim kampanye dan tidak diproduksi untuk kepentingan serangan dalam kontestasi politik.
Ada konteks aktualitasnya tersendiri bagi suatu tulisan yang dipublikasikan di koran. Dan kalau dipahami secara dingin dan mendalam, kritik dalam tulisan tersebut tidak hanya diarahkan pada seseorang, melainkan pada berbagai kalangan, dalam suatu nada keprihatinan mengenai tendensi memudarnya kualitas pikir dalam kehidupan publik.
Kritik semacam itu merupakan ekspresi reguler dari tanggung jawab intelektual. Nyaris tak ada seorang pun Presiden Indonesia yang lolos dari kritik saya. Bahkan para calon presiden pun tak luput dari kritik saya. Alhasil, kritik tidak perlu dimaknai sebagai serangan menjatuhkan.
Saya tidak keberatan dengan peredaran tulisan tersebut. Yang dikeluhkan adalah soal etika peredaran tulisan. Tulisan asli telah mengalami tambahan framing, pemenggalan, komentar, dan perubahan judul; juga tanpa menyebutkan sumber dan tanggal pemuatan tulisan tersebut, yang berpotensi melanggar hak cipta.
Praktik kurang etis seperti itu berpotensi menjatuhkan reputasi etis penulisnya. Terkesan tulisan tesebut diproduksi penulis sebagai serangan balik setelah mundur dari jabatan politik. Padahal, jabatan politik bukanlah sesuatu yang istimewa, sehingga apapun yang pernah dialami, mundur dari suatu jabatan
tidaklah perlu disertai serangan terbuka terhadap mantan atasannya.
Tapi, dalam kehidupan publik yang mengalami kemunduran etika, tampaknya ada tambahan pekerjaan bagi para pekerja intelektual: kerja klarifikasi.
Semoga segalanya menjadi terang.
Klarifikasi ini dibuat sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya.
Salam Takzim
Yudi Latif
Advertisement