Digemari Generasi Milenial, Ini Sajak "Hujan Bulan Juni" Sapardi
Sapardi Djoko Damono, penyair yang puisi-puisinya digemari generasi milenial. Di antara karyanya berjudul "Hujan Bulan Juni" mendapat apresiasi menggebirakan baginya.
Maka ketika ada kabar Sapardi Djoko Damono, meninggal dunia pada Minggu 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB di Rumah Sakit EKA, Bumi Serpong Damai, Jakarta, sontak kabar duka itu bertebaran di media sosial.
Berikut sajak paling digemari generasi milenial itu:
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Memang, meninggalnya Sapardi Djoko Damono menyisakan duka mendalam bagi orang-orang yang mengenalnya. Ia tinggal di Depok, Jawa Barat.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun," tutur Sirikit Syah, penyair Surabaya. Menyusul beberapa penyair dan seniman Surabaya mengucapkan salam duka cita atas kepergian saatrawan kelahiran Solo, 20 Maret 1940.
Sapardi Djoko Damono selain dikenal sebagai sastrawan juga seorang pakar ilmu sastra. Penyair liris ini pun menjadi Guru Besar Sastra di Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
Karya-karyanya memberi tonggal bagi perjalanan kepenyairan di Indonesia. Sejumlah sajaknya, seperti Hujan Bulan Juni, sangat melekat baik di hati para penikmat puisi.
Sapardi sesungguhnya memang patut dijadikan panutan dalam kancah literasi Indonesia, sebab begitu banyaknya penghargaan dari dalam dan luar negeri yang ia tuai.
Sapardi Djoko Damono (SDD), tidak hanya dikenal melalui puisi-puisinya yang telah banyak dialihbahasakan. Ia juga telah menerbitkan sejumlah buku puisi, esai, fiksi, bahkan menerjemahkan karya sastra sejak 1969.
Sebelum meninggal dunia, Sapardi sempat dirawat di rumah sakit. Beberapa kali mengalami sakit karena usia senja.
Memang, usianya saat ini terbilang rentan untuk terkena penyakit khas orang tua, pikun. Tapi Sapardi tidak ingin membiarkan hal itu melanda dirinya, sebab itulah ia tetap menulis biarpun itu sedang pukul 3 dini hari.
Advertisement